Bukittinggi (Harian.co) — Tradisi program kerja 100 hari pemimpin terpilih di Indonesia dikenal semenjak masa Reformasi. Seratus hari atau tiga bulan adalah waktu yang cukup singkat. Tradisi ini memang banyak dinanti oleh masyarakat. Banyak pihak yang ingin mengetahui apa saja langkah yang akan dilakukan walikota terpilih dalam jangka waktu tiga bulan tersebut. Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) Bukittinggi menyoroti dua isu dalam 100 hari Erman Safar – Marfendi sebagai Walikota dan Wakil Walikota terpilih Bukittinggi periode 2021-2024, yaitu terkait janji untuk mencabut Peraturan Walikota (Perwako) yang merugikan pedagang dan mundurnya Kepala Dinas Koperasi, UKM dan Perdagangan Bukittinggi dan Plt. Asisten Pemerintah Kota Bukittinggi.  

Arianto, yang merupakan juru bicara GPK Bukittinggi menyatakan, "Posisi GPK Bukittinggi berdiri bersama pedagang, membela hak pedagang Bukittinggi serta akan melanjutkan perjuangan menolak kenaikan retribusi yang memberatkan pedagang," ujarnya kepada wartawan di Hotel Jogja Bukittinggi, pada Rabu, (26/05/2021).  

Dan Riyan Permana Putra, S.H., M.H., yang merupakan divisi hukum GPK Bukittinggi menambahkan, "Keberpihakan GPK Bukittinggi kepada pedagang ini merupakan hasil kajian dan rekomendasi dari Komnas HAM yang tertuang dalam Surat rekomendasi Komnas HAM Pusat nomor: 013/TUA/I/2020 ke Presiden RI itu dengan perihal: Dugaan Pelanggaran HAM dalam Penataan Beberapa Pasar di Kota Bukittinggi. Dalam rekomendasi Komnas HAM tersebut dijelaskan bahwa ada potensi pelanggaran HAM oleh walikota atas pedagang terkait hak ekonomi para pedagang untuk mendapatkan penghidupan yang layak yang dijamin UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, terhalang oleh kebijakan walikota Bukittinggi yang menaikkan tarif retribusi yang sangat tinggi," tambah Riyan. 

Lalu mengenai adanya gejolak di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ditandainya dengan mundurnya Kepala Dinas Koperasi, UKM dan Perdagangan Bukittinggi dan Plt. Asisten Pemerintah Kota Bukittinggi. Arianto, yang merupakan jubir dari GPK Bukittinggi menyatakan, "Mundurnya SKPD itu adalah karena ketidakmampuan walikota terpilih dalam mengontrol kinerja bawahannya dan gagal dalam melakukan manajemen perangkat daerah dengan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) sesuai amanat Pasal 67 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda)," pungkasnya. 

GPK Bukittinggi mendorong agar walikota terpilih melakukan manajemen SKPD untuk menghasilkan SKPD yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dengan menyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan pada asas: kepastian hukum, profesionalitas, proporsionalitas, keterpaduan, netralitas, akuntabilitas, efektif, dan efisien.

Riyan yang juga merupakan Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittunggi pun kembali menambahkan bahwa GPK Bukittinggi juga menyerukan, "Agar Walikota Bukittinggi terpilih untuk melaksanakan hubungan kerja antar SKPD yang koordinatif sebagaimana amanat Pasal 210 UU Pemda. Pemerintah Bukittinggi harus bisa mengkolaborasikan serta mensinergikan SKPD agar visi misi Bukittinggi Hebat Walikota Bukittinggi tercapai," paparnya.

GPK Bukittinggi menilai SKPD merupakan ujung tombak dalam menjalankan pemerintahan. Walikota selaku pembina pegawai harus terus membina pegawai-pegawainya dengan memperhatikan beberapa prinsip. GPK juga mendorong Pemerintah Kota Bukittinggi menyediakan pelatihan-pelatihan yang bertujuan untuk peningkatan kualitas SDM Pemerintah Daerah, karena sebagaimana amanat Pasal 70 (1) UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), SKPD memiliki hak dan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi dan GPK Bukittinggi merekomendasikan agar pengisian SKPD dilakukan melalui seleksi terbuka untuk menjaring SKPD yang berkompeten sesuai amanat Pasal 234 ayat 4 UU Pemda.

(*)