Bukittinggi (Harian.co) — Sebagaimana dilansir dari lacakpos.co.id terkait pemberitaan dengan judul Cuman Jadi Pajangan Tandon Air Cuci Tangan di Puskesmas Rasima Ahmad Tangah Sawah Berbulan-Bulan Kosong, Wakil Walikota Bukittinggi Marfendi Whatshap (WA) wartawan, ini bahasanya dalam bahasa Minang, (Ancak kumpuan data yg co Iko sa bukik nyo pak. Tu viralkan, bia nak nampak kurang karajo pemko. Kalau cuman ciek bantuak iko, nan ka kanai yo wartawan senyo mah. Dianggap tukang cukia se. Yo pabanyak stek pak. Boa bahaso “cuman jadi pajangan” cocok judul jo isi. Kalau cuman ciek).
Artinya adalah bagus kumpulkan data sebukitnya pak, kemudian viralkan, biar kelihatan kurang kerja pemko. Kalau hanya satu bentuk ini yang akan kena ya wartawan sendiri, dianggap tukang congkel. Ya perbanyak sedikit pak bagaimana bahasanya "cuman jadi pajangan” cocok judul dengan isi, kalau cuma satu).
Anggota DPRD Kota Bukittinggi dari Partai Demokrat yang juga mantan wartawan Edison Nimli menanggapi WA Wakil Walikota Marfendi, mengatakan kepada LacakPos.co.id di Gedung DPRD Bukittinggi, Senin (24/5/2021)
"Harusnya seorang Wakil Walikota Marfendi mengetahui apa tugas wartawan, salah satunya sosial control apa yang terjadi di masyarakat. Sangat tidak bijak mengatakan kata-kata bahwa wartawan, mencongkel-congkel kerjaannya seperti yang ditulis pada WA yang berbahasa Minang," ujarnya.
Ditempat berbeda Riyan Permana Putra, S.H., M.H., Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi mengemukakan jalan tengah pemberitaan tandon air kosong di Bukittinggi, "Sesuai kode etik jurnalistik dan juga Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) secara tegas diatur tentang hak jawab bagi siapa pun yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers, akan lebih elok menggunakan hak jawab daripada WA. Sedangkan pers dan wartawan wajib melayani hak koreksi dan hak jawab secara proporsional, sebagaimana diutarakan dalam Pasal 5 ayat 2 dan 3 UU Pers," ungkapnya.
Karena meski pers merupakan salah satu sosial kontrol, dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers juga harus menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut untuk profesional dan terbuka juga untuk dikontrol oleh masyarakat.
Kontrol masyarakat dimaksud antara lain, setiap orang dengan dijamin hak jawab dan hak koreksi terhadap suatu pemberitaan sebagaimana diutarakan dalam Pasal 5 ayat 2 dan 3 UU Pers.
UU Pers merupakan lex specialis terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga, apabila terdapat suatu permasalahan yang berkaitan dengan pemberitaan pers, peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Pers.
Mekanisme yang dapat ditempuh terlebih dahulu adalah dengan menggunakan hak jawab dan hak koreksi terhadap pemberitaan tersebut.
"Jadi, jalan tengah pemberitaan tandon air kosong di Bukittinggi adalah pihak pemerintah kota dapat menggunakan hak jawabnya. Karena berdasarkan UU Pers, pihak pemerintah kota sejatinya memiliki hak jawab untuk mengklarifikasi sesuai kode etik jurnalistik dan UU Pers," tutup alumni Universitas Indonesia ini.
Pewarta: RPP