Bukittinggi (Harian.co) — Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi dan juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi, Riyan Permana Putra, S.H., M.H., menanggapi terkait mundurnya beberapa pejabat di lingkungan pemerintah Kota Bukittinggi ini, "Bukittinggi harus segera melakukan reformasi birokrasi untuk wujudkan visi Bukittinggi Hebat serta world class bureaucracy sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2020 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024. Reformasi birokrasi merupakan pilar yang menentukan keberhasilan visi Bukittinggi Hebat. Pemerintah Kota Bukittinggi harus berkomitmen untuk memperkuat dan mempercepat reformasi birokrasi tersebut di seluruh jajaran, tentunya dengan aparatur sipil negara (ASN) berkualitas, unggul, dan berintegritas. Itu kunci keberhasilan birokrasi di Bukittinggi," katanya kepada media di Bukittinggi pada Selasa, (08/06/2021).
"Dalam kajian hukum administrasi PPKHI Kota Bukittinggi, secara nasional saat ini reformasi birokrasi telah masuk kepada periode ketiga atau terakhir dari Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional. Pada tahap akhir ini, Reformasi Birokrasi diharapkan menghasilkan karakter birokrasi yang berkelas dunia (world class bureaucracy) yang dicirikan dengan beberapa hal, yaitu pelayanan publik yang semakin berkualitas dan tata kelola yang semakin efektif dan efisien," jelasnya.
"Kajian hukum administrasi PPKHI Kota Bukittinggi juga mengungkapkan bahwa reformasi birokrasi merupakan sebuah kebutuhan yang perlu dipenuhi dalam rangka memastikan terciptanya perbaikan tata kelola pemerintahan. Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) adalah prasyarat utama pembangunan kota. Kualitas tata kelola pemerintahan akan sangat mempengaruhi pelaksanaan program-program pembangunan kota. Semakin baik tata kelola pemerintahan suatu kota, semakin cepat pula perputaran roda pembangunannya," paparnya.
Namun reformasi birokrasi di Bukittingggi dipastikan akan berjalan lambat, karna adanya kebijakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) yang melarang gubernur, bupati dan wali kota terpilih mengganti pejabat di lingkungan pemerintahannya dalam jangka waktu enam bulan sejak tanggal pelantikan.
"Instruksi tersebut tertuang dalam Surat Edaran Nomor 02/2016 tentang Penggantian Pejabat Pasca Pilkada. Dalam surat edaran itu, juga mengatur larangan kepala daerah yang baru saja dilantik mengganti pejabat pimpinan tinggi selama dua tahun sejak pelantikan pejabat tersebut," pungkasnya.
Pergantian Pejabat atau yang disebut mutasi pejabat, dalam proses dan pasca pilkada memang terlarang sebagaimana tertuang dalam Pasal 162 ayat 3 UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
"Dalam Pasal 162 ayat 3 UU Pilkada dinyatakan, gubernur, bupati, atau wali kota yang akan melakukan pergantian pejabat di lingkungan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten atau kota dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapat persetujuan tertulis Mendagri," terangnya.
"Hal itu memang perlu dilakukan demi kesinambungan serta penjaminan pengembangan karir Aparatur Sipil Negara (ASN) di masing-masing daerah. Namun menurut kajian PPKHI Kota Bukittinggi, ini juga menjadi penghambat berjalan cepatnya implementasi janji kampanye kepala daerah terpilih, berjalan seperti kura-kura di 100 hari kerja pertamanya, birokrasi berjalan senyap dan lambat. Sebenarnya perlu direfresh segera agar visi misi walikota berjalan cepat, namun karna terhalang aturan refresh tertahan, rekan politik memanfaatkan momentum ini untuk mengkritik," tutupnya.
Pewarta: RPP
Editor: Alex