BUKITTINGGI (Harian.co) — Sebagaimana dilansir dari tirto.id, rencana amandemen UUD 1945 untuk masa jabatan Presiden tiga periode kembali disuarakan akhir-akhir ini, yang histori awalnya mulai disuarakan pada Oktober 2019. Kala itu, Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan keduanya sepakat untuk mengamandemen UUD 1945 secara menyeluruh. Paloh menyoroti beberapa poin dalam rencana amandemen itu. Pertama, menghidupkan lagi GBHN; kedua, mengatur ulang keserempakan dalam pemilihan umum.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, "Penambahan tiga periode presiden itu hanya mungkin dilakukan dengan mengubah Pasal 7 UUD 1945." Untuk melakukan amandemen itu butuh kekuatan politik yang besar, katanya sebagaimana dilansir dari tirto.id, sebab pasal 37 UUD 1945 mensyaratkan usul perubahan pasal harus diajukan oleh minimal 1/3 anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Ayat berikutnya dari pasal itu mengatakan, pasal yang diusulkan untuk diamandemen pun harus jelas.
Ditempat berbeda, Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi, Riyan Permana Putra, S.H., M.H. menyatakan, “Lebih urgent mengamandemen untuk penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) daripada mengamandemen untuk masa jabatan presiden tiga periode. Ini berdasarkan kajian hukum PPKHI Kota Bukittinggi, dengan adanya berbagai upaya pelemahan KPK yang terjadi akhir-akhir ini, mengusulkan agar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dilakukan amandemen untuk kelima kalinya. Meski belum ada keputusan amandemen tersebut, kami mewacanakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar masuk dalam UUD 1945. Hal itu dilakukan agar KPK tak lagi menjadi lembaga ad hoc, tetapi lembaga permanen dalam pemberantasan korupsi,” katanya kepada media di Bukittinggi, pada Senin (21/06/2021).
Sikap tegas Ketua PPKHI Bukittinggi ini sebagai upaya penguatan KPK dalam pemberantasan korupsi. Riyan yang juga merupakan alumni Universitas Indonesia ini berpandangan, “Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang mesti ditangani dengan cara yang luar biasa pula. Keberadaan KPK dalam pemberantasan korupsi tak terbantahkan mampu menangkap pelaku korupsi kelas kakap. Ironisnya, KPK masih sebagai lembaga ad hoc. Padahal, sebagai lembaga penegak hukum, KPK mesti menjadi lembaga permanen,” ujarnya.
Menurutnya, dengan melakukan amandemen, KPK idealnya masuk dalam UUD 1945 agar tak lagi menjadi lembaga ad hoc. KPK keberadaanya kerap termarginalisasi dengan minimnya kewenangan.
Putra Minang asal Kampung Melayu, Pasaman Timur itu berpandangan dalam pemberantasan korupsi, KPK mesti diperkuat. “Apalagi, KPK kerap mendapat serangan pihak-pihak berkepentingan. Kami PPKHI Bukittinggi tak ingin era reformasi hancur karena korupsi seperti halnya orde baru. Makanya, sebagai lembaga anti korupsi mesti dibuat menjadi permanen. Kami juga berharap, KPK sama halnya dengan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum yang masuk dalam UUD 1945,” tutupnya.
(*)