BUKITTINGGI (Harian.co) — Pihak Rektorat Universitas Indonesia memanggil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia, Leon Alvinda Putra bersama pengurus lainnya sore ini, Ahad, 27 Juni 2021. Pemanggilan ini imbas dari unggahan BEM Universitas Indonesia yang mengkritik pemerintah dan memberi gelar Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai "King of Lips Service". Netizen pun menanggapi secara pro dan kontrak dengan kritik dari mahasiswa Universitas Indonesia ini.
Terhadap pro kontra terhadap kritik mahasiswa Universitas Indonesia, Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi, Riyan Permana Putra, S.H., M.H.,yang juga merupakan alumni Universitas Indonesia ini menyatakan, “Kita mengapresiasi kritik mahasiswa, bagaikan oase ditengah tak berdayanya oposisi di negara demokrasi terbesar ketiga dunia ini. Kritik dari mahasiswa Universitas Indonesia ini adalah sebuah pertanda bagi para elite politik agar tidak mengingkari janji. Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, memiliki kewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi (freedom of speech) tersebut, sebagaimana amanat Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Dan Pihak eksekutif, yaitu Presiden Jokowi dan jajarannya harus lebih waspada serta memperhatikan aspirasi publik secara luas terhadap kebijakan yang diambil ke depan. Karena kebijakan yang tidak sesuai aspirasi publik akan dinilai publik sebagai langkah involutif terhadap agenda memajukan bangsa,” katanya di Bukittinggi, Senin, (28/6/2021).
“Gelombang suara mahasiswa Universitas Indonesia itu adalah bukti sekaligus pembelajaran bagi elite politik untuk lebih memperhatikan aspirasi masyarakat dalam setiap kebijakan dan janji politiknya. Momentum ini menunjukkan kepada kita bahwa peran mahasiswa sebagai intelektual organik tidak akan pernah luntur. Apalagi saluran politik melalui lembaga-lembaga konvensional negara dinilai telah mandek. Ketika Presiden Jokowi memilih Prabowo [sebagai Menteri Pertahanan] artinya sudah selesai. Kami menduga dalam kajian politik hukum ketatanegaran PPKHI Bukittinggi, ini untuk melumpuhkan oposisi. Jika Jokowi suatu saat kemarin pernah meminta kritik dari pers dan masyarakat, maka di level politik praktis, langkah-langkah politiknya justru bertolak belakang dengan pernyataannya. Dengan semakin sedikitnya oposisi, peluang pemerintah mendapat kritik dari jalur resmi kian menipis. Maka kritik dari gelombang aspirasi mahasiswa sangat dibutuhkan untuk meluruskan jalannya negara,” tambahnya.
“Kritik mengkritik itu merupakan keniscayaan di negara demokrasi. Kritik menjadi bunga-bunga yang mengharumkan demokrasi. Kritik terkadang memang terasa pahit, tetapi ia sangat dibutuhkan untuk menyehatkan dalam pengelolaan negara. Tanpa kritik, pemerintah yang punya segala sumber daya dan kuasa rentan untuk menyimpang dari jalan kebenaran. Tanpa kritik, pemerintah bisa menjadi otoriter, meski ia dibangun lewat proses demokrasi,” pungkasnya.
Namun kita tak ingin kritik terhenti dengan respon yang mengakibatkan indeks kebebasan berpendapat sipil yang rendah di mata dunia, berdasarkan hasil telaah PPKHI Bukittinggi pada data Badan Pusat Statistik, seperti dilaporkan Antara, Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2019 menjadi 74,92 poin. Angka ini meningkat 2,53 dibandingkan tahun 2018. Namun hasil kajian majalah Economist melalui The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2019 menunjukkan hasil berbeda dengan BPS. Indonesia berada di peringkat 64 dari 167 negara dalam hal demokratisasi. Di antara lima indikator yang ditelaah, kebebasan sipil bahkan paling rendah, yakni di angka 5,59. Indonesia hanya satu peringkat di atas Namibia. Setahun berikutnya, Economist melakukan survei serupa dan memperlihatkan kecenderungan yang sama. Menurut kajian tersebut, demokrasi di Indonesia masih kelas medioker. Indonesia punya poin 6,3 dalam skala 0-10 dan membuatnya berada di urutan ke-64 dari 167 negara. Angka ini lebih buruk 0,1 dari tahun sebelumnya. Kebebasan sipil juga tak berubah, tetap di angka yang sama. Indonesia satu taraf dengan Lesotho yang penduduknya sekitar 2 juta orang dan luas wilayahnya tak lebih besar dari Jawa Tengah. Di kawasan Asia dan Australia, Indonesia juga tak mencapai 10 besar, kalah dibanding Filipina yang dipimpin autokrat Rodrigo Duterte atau bahkan Timor Leste yang baru merdeka dari Indonesia 22 tahun lalu.
Pandangan Islam terhadap Kritik Rakyat atas Pemimpinnya
Dan Indonesia, dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia, wajar jika melirik bagaimana Islam memandang tentang kritik rakyat atas pemimpinnya. Islam memandang pemimpin sebagai ro’in (pelayan) dan junnah (pelindung) bagi rakyat yang dipimpinnya. Rasulullah bersabda,
“Imam (Pemimpin) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Al Bukhari).
Sehingga menjadi suatu hal yang wajar jika rakyat mengkritik penguasa, yang menjalankan amanah rakyat. Amanah untuk mengurusi urusan rakyat. Amanah untuk menjadi pelindung rakyat.
“Kritik adalah bagian dari sikap peduli dari rakyat untuk negeri, bukan bagian dari kebencian. Seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Kisah Umar yang mau dikritik dan mengakui kesalahannya di hadapan umat. Tidak ada namanya persekusi bahkan perlakuan keji kepada rakyatnya yang menyampaikan kritik atas kebijakan yang dirasa dholim. Selama isi kritik tidak melanggar hukum syara’, beliau menerimanya. Dengan merendah beliau mengakui kesalahanya sebagai pemimpin. Oleh karenanya beliau mendengar apa kemauan rakyat untuk kehidupan mereka, semata mata bukan karena benci namun karena peduli. Ada hubungan yang sangat erat antara pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. Rakyat semakin mencintai pemimpinnya, begitu pula pemimpin mencintai rakyatnya. Jadi, kritik mahasiswa Universitas Indonesia marilah kita artikan sebagai oase ditengah tak berdayanya oposisi dan juga merupakan tanda cinta anak bangsa terhadap bangsanya,” tutupnya.
(*)