BUKITTINGGI (Harian.co) — Ada dugaan polemik antara walikota dan DPRD, kita sebagai warga kota tentu tidak ingin melihat hubungan antara walikota dan DPRD ada polemik, apalagi sampai berujung impeachment (pemakzulan) terhadap walikota sebagaimana terjadi pada Bupati Jember. Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi, Riyan Permana Putra, S.H., M.H., pun berharap bahwa, "Jika ada polemik antara Walikota dan DPRD jangan sampai berujung impeachment seperti yang pernah dialami Bupati Jember pada 2020 silam, karna mekanisme pemberhentian Walikota sesuai UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 79 ayat (1) yang menyatakan bahwa pemberhentian kepala daerah diberitahukan oleh pimpinan DPRD dalam rapat paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD. Berdasar Pasal 149 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD memiliki hak pengawasan yang dapat berujung kepada impeachment, yaitu hak intepelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Dan dalam negara-negara demokrasi modern terdapat dua substansi terkait pemberhentian kepala pemerintahan, yaitu alasan yang bersifat politik dan yang bersifat hukum," ujarnya di Bukittinggi, Kamis, (03/06/2021).
"Usulan pemberhentian atau impeachment terhadap Walikota merupakan konsekuensi dari hak pengawasan yang melekat pada anggota DPRD dalam mengevaluasi kinerja kepala daerah sebagai wujud pelaksanaan prinsip checks and balances. Berdasar Pasal 149 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD memiliki hak pengawasan yang dapat berujung kepada impeachment, yaitu hak intepelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat," tambahnya.
"Alasan yang bersifat politik dilandaskan pada penilaian politik, yang dilakukan oleh lembaga politik, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Alasan ini sering diidentikkan dengan istilah “mosi tidak percaya”. Sedang alasan hukum merujuk pada pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum baik yang bersifat ketatanegaraan (pelanggaran terhadap UUD atau undang-undang) maupun pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang bersifat pidana," pungkasnya.
"Kita bisa lihat kasus pada pertengahan tahun 2020 lalu, masyarakat Jember disuguhi ketegangan politik antara legislatif dan eksekutif yang berujung pada pemakzulan Bupati Jember oleh DPRD, kemudian mosi tidak percaya ASN kepada Bupati Jember Faida berdasarkan rapat paripurna hak menyatakan pendapat, Bupati Jember Faida diimpeachment (dimakzulkan) dari jabatannya oleh DPRD Jember karena alasan melanggar sumpah janji, dan melanggar beberapa peraturan perundang-undangan. Kita tentu tak ingin itu terjadi di kota kita," katanya.
"Fakta dalam satu dekade belakangan ini banyak kepala daerah atau pejabat negara yang dimakzulkan dari jabatannya, dikarenakan kepala daerah tersebut terkena kasus korupsi, melanggar sumpah jabatan, melanggar larangan kepala daerah atau sebab lain yang sudah diatur dalam Undang-undang No. 9 Tahun 2015 atas Perubahan Kedua Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah," papar Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi ini kepada media.
Pembahasan impeachment kepala daerah ini dapat dilakukan melalui dua prosedur realisasi hukum sekaligus yakni di dalam dan di luar pengadilan. Fungsi dan hak DPRD sebagai wujud realisasi hukum di luar pengadilan serta kewenangan DPRD memiliki implikasi terhadap impeachment kepala daerah untuk menegakkan nilai moral dan keadilan untuk kepentingan masyarakat di daerahnya. Selain itu terdapat pula mekanisme melalui jalur peradilan yaitu di Mahkamah Agung, DPRD mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung atas dugaan pelanggaran sumpah/ janji jabatan yang dilakukan oleh seorang kepala daerah.
Impeachment kepala daerah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 78 Ayat (1), Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; atau c. diberhentikan (dengan alasan sebagaimana tertera pada Pasal 78 ayat (2) huruf a - i UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah).
Diluar dari proses hukum yang mengharuskan pemberhentian secara cepat. Maka landasan yuridis pemberhentian kepala daerah dengan mekanisme impeachment (saat tidak melakukan pelanggaran pidana) adalah mengikuti tata cara yang diatur dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah pada pasal 80 ayat (1) dengan yang akan diimpeach terlebih dahulu harus berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD, kepala daerah atau wakil kepala daerah yang dinyatakan melanggar sumpah janji jabatan. tidak melaksanakan kewajiban, melakukan perbuatan tercela.
Kemudian pendapat DPRD diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.
Mahkamah Agung akan memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD paling lambat 30 (tiga puluh) Hari setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, melanggar larangan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, melakukan perbuatan tercela, pimpinan DPRD menyampaikan usul kepada Presiden untuk pemberhentian gubernur atau wakil gubernur dan kepada Menteri untuk pemberhentian bupati atau wakil bupati/wali kota atau wakil wali kota.
(*)