BUKITTINGGI (Harian.co) — Terkait adanya postingan salah satu pemimpin Kota Bukittinggi di instagram yang menyatakan netizen Indonesia paling galak di medsos, kalau ketemu lebih cenderung diam dan berlagak seolah paling sopan dan santun dengan menyertakan video anjing lalu dilanjutkan dengan tulisan ada yang merasa segera tobat. Bawaan penyakit hati, susah lihat orang lain senang.
Postingan salah satu pimpinan kota Bukittinggi mendapat tanggapan dari Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi dan juga merupakan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi, Riyan Permana Putra, S.H., M.H., ia menyatakan, "Seorang pejabat, termasuk walikota dan jajarannya, harus mau dikritik baik itu oleh netizen secara online dan masyarakat yang memilihnya secara offline sebagai bagian dari cara berdemokrasi yang efektif. Seorang pemimpin jika tidak mau dikritik menandakan bahwa dia belum siap untuk menjadi pemimpin," jelasnya kepada media pada Sabtu, (05/06/2021).
"Apalagi sejak pintu demokrasi terbuka pascareformasi 1998, kebebasan berekspresi dan menge luarkan pendapat menjadi hal yang lumrah dan tak lagi dikebiri. Secara yudiris pun dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Rasulullah SAW bahkan menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat: “Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw, seraya bertanya, “Jihad apa yang paling utama.” Rasulullah Saw menjawab,’ Kalimat haq (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa.“ [HR. Imam Ahmad]," tambah alumni Universitas Indonesia ini.
"Jadi di dalam negara hukum berdasarkan asas demokrasi ini, kritik yang dilancarkan kepada pejabat pemerintah merupakan bagian dari komunikasi politik dan dapat dilakukan melalui tulisan atau demonstrasi jika komunikasi politik itu macet. Kritik merupakan salah satu cara keturutsertaan warga negara dalam mengawasi dan berpartisipasi dalam pemerintahan yang dijamin dalam konstitusi UUD 1945," paparnya.
"Kritik itu camin untuak mangukua diri bagi pamimpin (kritik itu sebagai cermin untuk mengukur dirinya) sampai di mana program dan kebijakannya ampuh dan benar serta berguna bagi masyarakat. Membalas kritik dengan postingan yang menyertakan video anjing atau dengan hukuman dan membawa yang mengkritik ke pengadilan bukanlah sifat seorang pemimpin yang demokratis tetapi lebih cocok diimplementasikan dalam kepemimpinan yang otoriter. Kritik haruslah diterima sebagai masukan, namun disampaikan dengan cara yang positif untuk tujuan yang positif pula," pungkas Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi.
Dan almarhum Wakil Sekretaris Jenderal MUI Ustaz Tengku Zulkarnain pun pernah menyebut tindakan mengkritik perbuatan seorang pemimpin bukanlah tergolong ghibah yang dilarang agama. "Mengkritik perbuatan pemimpin yang dianggap merugikan rakyat atau agama tidak dapat dikatakan ghibah yang dilarang agama," cuit Tengku Zul melalui akun jejaring sosial Twitter, @ustadtengkuzul, Senin (03/08/2020).
Pewarta: RPP
Editor: Alex