Bogor (Harian.co) — “Hakikat keberadaan suatu negara saat ini tidak bisa dipandang hanya dari variabel - veriabel domestik saja, karena perubahan lingkungan geostrategis di tingkat regional dan internasional pun akan berpengaruh terhadap kondusifitas keamanan suatu negara. Apalagi menjelang hajat besar lima tahunan (Pileg & Pilpres) negara berkewajiban menjaga kamtibmas yang kondusif. Dalam konteks inilah, khususnya personil intelijen harus mampu mengidentifikasi segala variabel yang berpotensi mengganggu kondusifitas pemilu yang luber dan jurdil “, demikian disampaikan oleh Pemerhati Intelijen Dede Farhan Aulawi yang disampaikan dalam acara ‘Intelligence Sharing Session’ yang dilaksanakan di Mako Batalyon B Resimen I Paspelopor Brimob Cikeas Bogor, Selasa (28/09/2021).

Lebih lanjut Dede juga menyampaikan bahwa kualitas pemilu yang baik akan melahirkan pemerintah yang legitimate, yang diharapkan bisa menjalankan pemerintahan yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kemajuan negara dan kejayaan bangsa. Kamtibmas yang kondusif memungkinkan masyarakat bisa leluasa melakukan aktivitas ekonominya, aktivitas ibadahnya, dan berbagai aktivitas lainnya. Oleh karena itu kewajiban dalam mewujudkan situasi kamtibmas yang aman dan tenteram menjadi kewajiban seluruh warga negara dengan dimotori oleh Polri sebagai garda terdepan dalam memberi keteladanan sekaligus pelopor tertib sosial di ruang publik. Ujarnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka Intelligence Sharing Session menjadi hal penting agar kita bisa mengetahui variabel - variabel yang berpengaruh pada keamanan dengan mengkaji isu-isu aktual yang sedang terjadi, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. Dengan demikian, seluruh aparat diharapkan mampu membuat langkah-langkah antisipatif guna mencegah kemungkinan negatif yang bisa timbul. Selanjutnya bisa merancang cooling system' dan regularly monitoring terhadap segala perkembangan yang terjadi di tengah masyarakat. Apalagi revolusi industri 4.0 juga berdampak terhadap perubahan perilaku ancaman yang cepat,  masif dan unpredictable.

“Untuk itulah, ada baiknya acara Intelligence Sharing Session ini bisa dilakukan secara berkala dan berkelanjutan agar mampu meng-up date berbagai perkembangan aktual yang terjadi di berbagai belahan dunia yang ada implikasinya terhadap negara, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Acara seperti ini bisa mengundang berbagai pakar yang terkait, karena setiap orang mungkin saja memiliki sudut pandang yang berbeda tergantung pada fokus dan keahliannya masing – masing. Untuk itulah saya sangat mengapresiasi AKP. Bayu Arswendo sebagai Wakil Komandan Batalyon yang memiliki pemikiran futuristik dalam mengkaji variabel – variabel strategik yang berimplikasi pada keamanan nasional," ungkapnya.

Dengan demikian, seluruh aparatur terkait dipandang perlu untuk duduk bersama dalam acara "Intelligence Sharing Session" ini. Variabel – variabel yang berpengaruh terhadap lingkungan strategis tersebut banyak dan dinamis. Disinilah kecermatan, kewaspadaan, kemampuan dan kesigapan personil intelijen dalam mengamati dan menganalisa perubahan dinamika menjadi sangat penting. Baik dinamika dalam skala nasional, regional maupun internasional. 

Misalnya saja soal ketegangan yang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan yang bisa memicu peperangan berskala besar. Tidak hanya enam negara yang teritorinya meliputi perairan itu, Amerika Serikat dan Inggris juga ikut memainkan peran. Termasuk Australia yang telah membentuk aliansi AUKUS bersama AS dan UK. China telah mengklaim hampir 90 persen Laut China Selatan, menduduki semua Kepulauan Paracel dan sembilan terumbu karang di Spratley, termasuk Fiery Cross Reef dan Johnson South Reef. Klaim tersebut didasarkan pada apa yang disebut "sembilan garis putus-putus (nine dashline)" yang membentang hampir 2.000 kilometer dari daratan China hingga beberapa ratus kilometer dari Filipina, Malaysia, dan Vietnam. Sementara garis ini baru pertama kali muncul di peta resmi pada tahun 1948, China menyatakan bahwa itu adalah konfirmasi hak China, bukan penciptaan klaim baru berdasarkan penemuan historis.

Sementara itu negara – negara yang bersengketa dengan klaim China tersebut tentu saja menolak klaim yang termasuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) mereka, sebagaimana didefinisikan oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Di saat yang bersamaan AS, Inggeris dan sekutunya meskipun tidak memiliki hak teritorial terhadap wilayah yang disengketakan itu, turut melibatkan diri  dengan alasan kebebasan navigasi yang dapat membatasi akses internasional ke wilayah tersebut. Di samping alasan tersebut, kawasan LCS juga memiliki potensi ekonomi yang besar, yaitu ada sekitar 11 miliar barel minyak dan gas alam 190 triliun kaki kubik yang belum dieksploitasi.

“Berhubung potensi peperangan di kawasan tersebut bisa terjadi dalam skala besar, maka tentu akan berpengaruh pada keamanan negara. Apalagi Australia juga sebagai sekutu AS kemungkinan besar akan melibatkan diri, dan Indonesia berada di jalur yang akan dilalui oleh berbagai kekuatan besar," pungkas Dede mengakhiri keterangan.

(*)

Editor: Alex