Bandung (Harian.co) — “Ada beberapa jenis profesi yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan dalam berakting alias ilmu peran. Contoh yang sederhana misalnya para aktor atau artis yang sedang memainkan peran, baik di atas panggung ataupun di balik layar.  Dimana masing – masing memiliki peran sesuai dengan alur cerita yang diharapkan. Namun sebenarnya bukan hanya profesi itu saja yang perlu menguasai ilmu peran, misalnya profesi intelijen pun wajib menguasai dan mendalami ilmu peran karena akan sangat menunjang kesuksesan dalam mengemban aneka misi yang menjadi beban tugasnya," ujar Pemerhati Intelijen Dede Farhan Aulawi di Bandung, Kamis (13/01/2022).

Lebih lanjut Dede juga menjelaskan bahwa terlepas jenis peran apapun yang ia mainkan, yang pasti ia bisa mengkhayati dan menjiwai setiap ucapan dan tindakan atas peran yang ia bawakan. Baik peran protagonis, antagonis, tritagonis ataupun hanya berperan sebagai figuran saja. Protagonis merupakan peran yang harus menampilkan sesuatu sesuai pandangan dan harapan publik, menggambarkan watak yang baik dan positif. Peran protagonis dapat menyita empati dan perhatian pembaca. Sementara, Antagonis menjadi salah satu peran yang menimbulkan konflik dalam skenario yang dibuat. Ia merupakan penggambaran watak yang buruk dan negatif. Biasanya dibenci publik, namun dterkadang diberikan porsi cukup banyak sehingga menyita perhatian publik. Kemudian Tritagonis disebut juga karakter ketiga atau penengah yang menggambarkan watak yang bijak. Berfungsi sebagai pendamai atau jembatan atas penyelesaian konflik. Biasanya muncul sebagai tokoh yang menyelesaikan permasalahan dalam sebuah alur cerita yang diskenariokan. Terakhir, Figuran (peran pembantu) merupakan tokoh atau peran yang kurang berarti dalam alur skenario, tetapi menjadi penambah “indahnya” alur cerita.

Saat melakukan “Peran”, imajinasi sangat penting karena “seorang” akan berpura-pura menjadi orang lain. Dalam berpura-pura menjadi orang lain secara sungguh-sungguh, diperlukan gaya imajinasi seseorang, sehingga kepura- praanya itu tidak diketahui oleh orang lain. Orang lain tidak boleh mengetahui bahwa dia sedang berpura- pura. Orang lain harus merasa bahwa yang disaksikannya itu adalah kenyataan bukan khayalan. 

Pendekatan lazim disebut pendekatan kreatif atau pendekatan metode dengan teknik konsentrasi, ingatan emosi, laku dramatis, pembangunan watak, observasi, dan irama. Latihan suara dan ucapan perlu cermat dan cukup. Vokal harus diucapkan jelas, konsonan- konsonan tidak boleh dilafalkan setengah-setengah. Selain latihan olah vokal dan latihan pernafasan, ada juga latihan letupan suara, latihan diksi (gaya pengucapan). Karyanya diciptakan melalui tubuhnya sendiri, suaranya sendiri, dan jiwanya sendiri. Hasilnya berupa peragaan yang ditampilkan di depan publik sangat tepat sesuai dengan target yang diharapkan.

Kemudian Dede juga menambahkan terkait dengan potensi tubuh yang harus lentur, sanggup memainkan semua peran, dan mudah diarahkan. Tidak kaku, latihan dasar dapat dilakukan dengan beberapa tahapan, seperti Latihan tari supaya mengenal gerak berirama dan dapat mengatur waktu. Lalu latihan samadi supaya mengenal lebih dalam artinya diam, merenung secara insani. Selanjutnya latihan silat supaya mengenal Potensi Tubuh. 

Ada juga yang disebut Potensi Driya, yaitu semua pancaindra, penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan pengecap. Potensi akal, agar cerdik dan tangkas. Kecerdikan dan ketangkasan itu bisa dipunya kalau ia terbiasa menggunakan akal, antara lain dengan kegiatan membaca dan berolahraga. Potensi Hati, hati merupakan landasan perasaan-perasaan manusia yang terkadang amat beragam dan silih berganti. Kadang senang kadang sedih, semua berurusan dengan hati, karena itu melatih Potensi Hati menjadi penting. Potensi Imajinasi, akting baru mungkin terjadi apabila dalam hati ada kehendak. Kehendak (niat) itu harus dilengkapi imajinasi (membayangkan sesuatu). Untuk menyuburkan imajinasi dalam diri dapat dilakukan dengan sering Potensi Imajinasi. Potensi Vokal, mengucapkan kata-kata yang dirakit menjadi kalimat- kalimat untuk mengutarakan perasaan dan pikirannya. Potensi Jiwa, mampu memerankan tokoh dengan penjiwaan. Artinya, ia harus bisa meleburkan jiwanya dalam tokoh yang diperankan. 

Hakikat seni peran adalah adalah meyakinkan orang lain (publik) bahwa apa yang tengah dilakukannya itu benar dan sudah cukup. Alat modal akting adalah tubuh (raga) dan sukma (rasa). Hal tersebut yang harus terus menerus diasah dan dilatih agar siap dalam menghadapi, menggali serta memainkan peran. 

Langkah Menyiapkan Raga (Tubuh) dengan cara melatih pernafasan, yaitu bernafas dengan benar dan terkontrol, membaca dan mengeja huruf (kejelasan kata & suku kata). Langkah Menyiapkan Sukma (Rasa), seperti berlatih konsentrasi dan fokus. Observasi dan penyerapan (lingkungan – suasana – waktu). Imajinasi (lingkungan – benda – suasana – waktu – peristiwa – kenangan). Penghayatan (bentuk – irama – ritme – tempo – rasa). Improvisasi sesuai dengan situasi yang ada. Itu sebabnya dalam ilmu peran, seorang calon yang memainkan peran tersebut tidak boleh merasa bosan belajar. 

Proses belajar mengajar dalam ilmu peran, dijadikan tonggak awal lahirnya “sutradara”. Dalam terminologi Yunani sutradara (director) disebut didaskalos yang berarti guru dan pada abad pertengahan di seluruh Eropa istilah yang digunakan untuk seorang sutradara dapat diartikan sebagai master. Sutradara adalah orang yang bertugas mengarahkan sebuah film sesuai dengan manuskrip, pembuat film juga digunakan untuk merujuk pada produser film. Manuskrip skenario digunakan untuk Pengertian Sutradara. Ia menentukan pokok penafsiran dan menyarankan konsep penafsiranya kepada pemain. Pemain dibiarkan mengembangkan konsep itu secara kreatif, tetapi juga terikat kepada pokok penafsiran tersebut.

Untuk memahami lebih lanjut tentu bisa mengikuti pelatihan – pelatihan, seperti aneka pelatihan yang diselenggarakan Oleh Pusdiklat PRAWITA GENPPARI yang secara aktif dan intens terus mencetak masyarakat indonesia yang cerdas. Perlu diketahui juga, bahwa lembaga ini barangkali merupakan pelaksana pendidikan dan pelatihan yang terlengkap di dunia, karena memiliki sekitar 2500 judul pelatihan di berbagai bidang.
 
Sebagai contoh adalah pelatihan “The Art of Acting dalam Praktek Intelijen “ yang pembahasannya dimulai dari Introduction “the Art of Acting”. Kemudian dilanjutkan ke materi Genuine and feigned emotion, Diderot’s Paradox of Acting, The actor’s approach to his role, Styles of performance, dan Techniques of performance. 

Standar pendidikan dan pelatihannya merujuk pada standar internasional seperti yang diselenggarakan di Artemis College of Performing Arts, Bristol School of Acting, Drama Studio London, Falmouth University, ICT Institute for Contemporary Theatre, Royal Birmingham Conservatoire, The Royal Conservatoire of Scotland, dan lain – lain.

Jadi seluruh warga Indonesia bisa mengikuti dan memanfaatkan kesempatan langka ini untuk menambah wawasan dan keterampilan dalam mempraktekan ilmu peran (the art of acting) dalam intelijen untuk meningkatkan ketahanan dan ketangguhan negara dari berbagai potensi ancaman yang bisa mengganggu keselamatan bangsa.

Keterangan lebih lanjut hubungi :
- Ibu Nuni : 0813-8330-7997
- Ibu Lilis : 0878-3770-5505
- Ibu Nia : 0882-1864-5975
- Ibu Ines : 0813-2498-5928

Sebagai tambahan referensi, para pembaca bisa membaca dan mendalaminya dalam :
- Brestoff, Richard. (1994). The Camera Smart Actor. Lyme, NH: Smith & Krause.
- Caine, Michael. (1990). Acting on Film. New York, London: Applause Theater Books Publishers.
- Chekhov, Michael. (1953). To the Actor. New York: Harper & Row Publishing.
- Cohen, Robert. (1978). Acting Power. Palo Alto, California: Mayfield Publishing Company.
- Crane, Robert David, and Christopher Fryer. (1975). Jack Nicholson Face to Face. New York: M. Evans and Company.
- Easty, Edward Dwight. (1981). On Method Acting. New York: Ballantine Books, Random House.
- Egri, Lajos. (1960). The Art of Dramatic Writing. New York: Touchstone.