PEKANBARU (Harian.co) — Hasil operasional team Satgas Terpadu penertiban penggunaan kawasan hutan secara ilegal di provinsi Riau tahun 2019 berdasarkan data pemrintah provinsi Riau melalui DLHK, berjumlah 80.885 HA. Jumlah itu sangat kecil, dibanding dengan temuan tim monitoring dari DPRD Riau dan hasil verifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI tahun 2019, berjumlah 1,2 juta hektare kebun ilegal Riau. Kamis (15/09/2022).

"Dari tahun 2019 hingga saat ini tahun 2022, kita belum mendengar bahwa tim Satgas Terpadu yang dibentuk pemerintah provinsi Riau sudah berhasil mengidentifikasi berapa sebenarnya yang sudah di tertibkan sesuai dengan nama Satgas itu, yang kita lihat terkait kebun ilegal ini sepi-sepi aja, seperti sudah terlupakan, dan kita LP-KPK Riau melihat sepertinya tidak ada progres yang signifikan," sebut Feri Sibarani, hari ini di Pekanbaru. 

Feri Sibarani mengatakan bahwa jika saja Satgas Terpadu bentukan pemerintah provinsi Riau itu akhirnya terhenti beroperasi oleh karena adanya Undang-Undang Cipta Kerja No 11 tahun 2020 dan PP 24 tahun 2021, yang mengatur penyelesaian soal perkara kebun ilegal Riau, menurut Feri, seharusnya Tim Terpadu memberi informasi kepada masyarakat luas, khususnya untuk para organisasi penggiat anti kerusakan hutan, agar tidak melahirkan asumsi-asumsi negatif terhadap Satgas Terpadu maupun terhadap pemrintah provinsi Riau. 

"Saya mau sampaikan, jika progres tim Satgas penertiban terhenti karena faktor UUCK 11 tahun 2020 atau PP 21 tahun 2021, seharusnya lakukan ekspos dong, sehingga kita semua tahu alur ceritanya. Sekarang yang ada semua pada diam, Gubernur Riau diam, Polda Riau diam, Kejati Riau diam, Kementerian LHK juga diam, ini ada apa? Apakah UUCK dan PP 24 tahun 2021 itu menghentikan sanksi lainnya? Buktinya kita lihat, PT Duta Palma di sikat Kejagung RI soal perizinan perkebunan di kawasan hutan, dan itu menyeret mantan bupati Inhu, M. Thamsir Rachman periode tahun 1999 - 2008 dan Surya Darmadi pemilik PT Duta Palma," sebut Feri. 

Kemudian masih menurut Feri Sibarani, yang kini akan menyelesiakan magister hukum di Fakultas Hukum Unilak itu mengatakan, Pemerintah seharusnya konsekwen dengan kebijakan yang di atur di dalam UU Cipta Kerja, dan PP nomor 24 tahun 2021 mengenai alur penyelesaian sengketa hukum perkebunan ilegal yang ada di Indonesia, khususnya di provinsi Riau. Pasalnya, menurut Feri Sibarani, jika berbicara mengenai soal kebun ilegal atau yang lazim disebut menguasai kawasan hutan tanpa izin kementerian LHK, maka semua cikal bakalnya adalah korupsi. 

"Emang latar belakang Kebun ilegal yang di temukan tim monitoring DPRD Riau, yang jutaan hektare itu, dan hasil verifikasi KPK itu bukan korupsi?? Semua itu kita pastikan adalah modusnya sama, itu di mulai sejak tahun 80 an, 90 an, bukan saja oleh para bupati dan gubernur tempo dulu, tetapi termasuk para pejabat kementerian Kehutanan tempo dulu harus di lihat sebagai aktor-aktor terjadinya masalah kebun ilegal saat ini. Kalau kejaksaan agung tidak terkesan tebang pilih, sikat lah semuanya, data jelas kok, kenapa hanya PT Duta Palma??? Saya khawatir ini pesanan politik untuk persiapan pilpres," jelas Feri sibarani. 

Sebagaimana diketahui, bahwa atas kasus penerbitan perizinan perkebunan di kawasan hutan, kabupaten Inhu, terhadap PT Duta Palma, dengan luas 37 ribu hektare, mantan bupati inhu, M Tamsir Rachman dan Pemilik Duta Palma, Surya Darmadi kini sedang menjalani proses hukum di kejaksaan agung, dan di sebut merugikan keuangan negara sebesar Rp 78 Trilliun dengan terbukti melanggar pasal-pasal dalam UU No 31 tahun 1999 Jo UU No 20 tahun 2021 tentang tindak pidana korupsi. 

Menurut Feri Sibarani, jika Kejaksaan Agung benar-benar ingin mengungkap kasus perizinan kebun di kawasan hutan, seperti yang di alami oleh PT Duta Palma, atau Surya Darmadi, maka menurutnya ada banyak perusahaan korporasi di Riau yang melakukan hal yang sama, namun  untuk lebih jelasnya, Kejaksaan boleh mendalami data sebelumnya, sesuai dengan data yang diperoleh pihaknya dari instansi yang kompeten. 

Adapun data-data perusahaan di provinsi Riau, yang diduga kuat menguasai kawasan hutan, dengan mengalih fungsikan kawasan tersebut menjadi kebun kelapa sawit, seperti hutan lindung, HPT, HP, dan HPK adalah sebagai berikut:
  1. PT Torus Ganda 11.192 HA
  2. PT Eka Dura Indonesia 159 Ha
  3. PT Sharindo Ayau 1.531 HA
  4. PT Agro Abadi 5.546,36 HA
  5. PT Kebun Sawit Bersama, Central Lubuk Sawit/Johanes 733 HA
  6. KOPERASI BINA TANI MAKMUR/AYAU 221 HA
  7. PT SEBERIDA SUBUR 1.400 HA
  8. PT SAWIT BERTUAH LESTARI 921 HA
  9. PT BAGAS INDAH PERKASA 1.077 HA
  10. PT PANCA AGRO LESTARI 367 HA
  11. PTPN V KEBUN AIR MOLEK 4.959 HA
  12. PT TESSO INDAH 2.325 HA
  13. PT. TRI BAKTI SARIMAS 6.912,16 HA
  14. PT CERENTI SUBUR 2. 412,52 HA
  15. PT INTI INDO SAWIT SUBUR (IIS) 3.822,89 HA
  16. KOPERASI SERIK INDAH MANDIRI (YOHANES SITORUS) 1.044 HA
  17. KELOMPOK TANI GUNUNG SEPAKAT (ACAY CS) 368 HA
  18. KELOMPOK TANI KURAN MAKMUR (ACAY CS) 2.942 HA
  19. PT. MITRA UNGGUL PERKASA 14.557 HA
  20. PT TUMPUAN 1. 277,70 HA
  21. PT. PANAHATAN 772 HA
  22. PT. ARGA AMERSON 875, 75 HA
  23. KOPERASI AIR KEHIDUPAN 4.300 HA
  24. PT. SWASTISHIDDI AMARGA 19 HA
  25. PT SOEBARKAT SINTA 401 HA
  26. CV ALAM LESTARI 700 HA
  27. KOPERASI RANTAU BAIS SEJATI 862,82 HA
  28. KOPERASI PENGUSAHA MUDA RIAU 1.026,77 HA
  29. GAPOKTAN RAMOS PALMA SURYA GEMILANG 1.952 HA
  30. PT AGRO SARIMAS INDOENSIA (DIVISI BAYAS) 3.870,60 HA
  31. PT AGRO SARIMAS INDOENSIA (DIVISI KM 08) 810 HA
  32. PT AGRO SARIMAS INDOENSIA (DIVISI SENCALANG) 905 HA

"31 Perusahaan itu juga memiliki kesamaan persoalan dengan PT Duta Palma, seharusnya, jika tujuan kejaksaan Agung ingin menegakkan hukum dan mengembalikan kerugian keuangan negara dari sektor kehutanan, saya kira semua perusahaan itu dapat segera di usut seperti Duta Palma, agar ada pengembalian keuangan kepada Negara, Sehingga saya yakin Negara akan surprise dengan penerimaan dari denda atau sita kekayaan mereka," urai Feri mengakhiri keterangan pers nya.

Editor: Alex