ROKAN HILIR (Harian.co) — Konflik di lahan kelompok tani (Poktan) Menggala Jaya, Desa Menggala Sakti, Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) semakin berlarut. Terakhir, hari ini Selasa (29/11/2022) aksi unjuk rasa Aliansi Masyarakat dan Anggota Poktan Menggala Jaya, berlangsung di lokasi, untuk mempertahankan lahan ratusan anggota Poktan.
Aparat dari Polres Rohil yang mengawal aksi itu hanya mengizinkan 15 perwakilan masyarakat memasuki lokasi aksi di perkebunan sawit tersebut. Dalam aksinya, massa membentangkan beberapa spanduk berisi sejumlah tuntutan.
Pertama, masyarakat menolak penjualan dan upaya penyerahan tanah kelompok tani kepada pihak lain. Selanjutnya meminta Gubernur Riau Syamsuar, Kapolda Riau, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menindak tegas oknum pengurus yang menjual tanah kelompok tani.
"Kembalikan tanah kelompok tani Menggala Jaya kepada masyarakat dan selamatkan tanah kelompok tani dari keserakahan pribadi," kata Koordinator Lapangan Lahidir membacakan poin-poin tuntutan.
Pada kesempatan itu, hadir juga mantan kepala desa Sekeladi, Rustam Jauhari yang turut menandatangani berita acara pembentukan Kelompok Tani Menggala Jaya pada 1996 silam. Rustam menjabat kepala desa sejak 1991 hingga 2002.
Dia menceritakan, waktu itu masih satu desa yakni Desa Sekeladi sebelum dimekarkan jadi lima desa. Menurutnya kelompok tani didirikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun, kata dia, dalam perjalanannya pengurus malah berencana ingin menjual lahan kelompok tani. "Lahan kelompok tani itu 700 hektare yang terdapat 12 kelompok sub unit, tapi semuanya diketuai almarhum Pak Bahrum," kata dia.
Konflik memuncak ketika lahan kelompok tani seluas 700 hektare terancam dijual sepihak oleh pengurus dan tanpa musyawarah dengan anggota. Mereka menolak seluruh poin kesepakatan damai antara pengurus dengan pengusaha asal Medan, Sumatera Utara, Sunggul Tampubolon. Anggota hanya menerima salinan surat perdamaian tersebut.
Diketahui, tanah tersebut menjadi objek sengketa dengan Sunggul Tampubolon. Perkara itu ditangani oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru dengan putusan 66/G/2021/PTUN.PBR. Dalam hal ini, PTUN Pekanbaru menolak gugatan atas nama Khoironi, selaku ketua kelompok tani.
Kepengurusan Khoironi serta Sekretaris Syafri Arizal dan Bendahara Nasrul, dibentuk setelah pengurus inti sebelumnya, ketua dan bendahara meninggal dunia. Pembentukannya pun tidak demokratis, dengan hanya melibatkan 16 anggota dari 350 anggota kelompok tani.
Surat perdamaian tertanggal 2 September 2022 itu berisi kesepakatan mengakhiri permasalahan hukum tentang sengketa hak atau tumpang tindih lahan baik secara pidana di Polres Rohil maupun secara perdata di PTUN Pekanbaru. Proses hukumnya lantas masuk babak banding dan tengah ditangani PTUN Medan.
Salah satu poin kesepakatan itu yakni penjualan 700 hektare lahan seharga Rp10 miliar dengan pembagian Rp5 miliar untuk pihak Khoironi dan Rp5 miliar untuk Sunggul Tampubolon.
Koordinator anggota Kelompok Tani Menggala Jaya, Lahidir mempertanyakan itikad baik pengurus. Pasalnya, pengurus sama sekali tak melibatkan anggota kelompok tani dalam membuat surat perdamaian tersebut. Keputusan tersebut dinilai tidak representatif untuk kepentingan kelompok.
"Secara legalitas harusnya pengurus mendudukkan masalah ini dengan anggota," kata Lahidir, Sabtu (26/11/2022), di Desa Menggala Sakti, Rohil.
Terpisah, Wakil Sekretaris Kelompok Tani Menggala Jaya, Syafri Afrizal membenarkan pihaknya tidak melibatkan anggota dalam membuat keputusan damai tersebut. Alasannya, pengurus kesulitan mengumpulkan 350 anggota yang tersebar di sejumlah desa.
"Secara teknis kami kesulitan mengumpulkan anggota. Namun, kami selalu bicarakan itu ketika berjumpa di warung kopi atau di mana pun. Kami selalu sharing tentang informasi perkembangan kelompok tani termasuk soal kesepakatan damai itu," kata Syafri Afrizal dalam keterangannya melalui video kepada wartawan, Selasa (29/11/2022).
Soal kesepakatan penjualan 700 hektare lahan seharga Rp10 miliar, dia menegaskan jumlah harga itu masih asumsi dan belum terjual.
Selain itu, dia membenarkan bahwa tujuan awal pembentukan kelompok tani itu untuk perkebunan sawit masyarakat dengan pola bapak angkat. "Memang itu niat kami dari awal ketika almarhum ayah saya menginisiasi kelompok tani," tuturnya.
Menurutnya, sejauh ini sudah tiga kali pihaknya mencoba mengelola kebun kelompok tani dengan pola bapak angkat. Namun, ketika akan dikerjakan selalu ada anggota yang berupaya menggagalkan usaha itu.
"Yang mengganggu ya mereka ini, Lahidir dkk. Mereka selalu mengganggu ketika kami punya niat melakukan pola bapak angkat dengan investor," terangnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, pada 2021, pengurus sudah menandatangani MoU dengan seorang investor. Pola kemitraannya yaitu bagi hasil 40 untuk kelompok tani dan 60 untuk investor.
"Dan masyarakat tidak terutang nantinya. Kami sempat kerjakan itu beberapa bulan, tapi di lapangan ada gangguan, pertama gangguan dari Bapak Tampubolon mengklaim punya lahan di lahan kelompok tani seluas 500 hektar," ucapnya.
Sementara itu, Penghulu Desa Menggala Sakti, Muslim yang menginisiasi dan menjadi saksi kesepakatan damai itu, berjanji akan mendudukkan masalah ini dengan masyarakat kelompok tani.
"Dalam waktu dekat kami akan adakan musyawarah dengan anggota kelompok tani baik yang di Menggala Sakti maupun di Sekeladi," kata dia.
(Tim)