BANDUNG (Harian.co) — "Pemberitaan berbagai media terkait dengan peristiwa serangan teroris di Balai Kota Crocus terhadap para penonton konser musik yang terletak di pinggiran Krasnogorsk, Moskow pada Jumat (23/03) membuat banyak masyarakat kaget, geram dan marah atas perilaku yang menginjak nalar sehat kemanusiaan dimana lebih dari 130 orang yang tidak bersalah harus meregang nyawa atas serangan teror tersebut. Masyarakat dan Pemerintah Indonesia yang cinta damai tentu akan mengutuk keras peristiwa biadab tersebut. Permasalahannya ada siapa otak di balik peristiwa itu? karena aktor lapangan memang sudah tertangkap, tetapi siapa yang membuat desain terornya menjadi tantangan yang harus terungkap," ujar Pemerhati Intelijen Dede Farhan Aulawi di Bandung, Kamis (28/03/2024).
Menurutnya peristiwa seperti ini pasti tidak didesain dalam beberapa hari, pasti ada perencanaan panjang untuk mengatur berbagai skenarionya. Mulai penentuan ‘event’, tempat, waktu, orang, senjata, pembiayaan, transportasi, akomodasi, pembagian peran/ tugas, jalur pelarian, dan ‘konstruksi pesan’ yang akan dibangun atas peristiwa tersebut. Termasuk ditemukannya senapan serbu Kalashnikov yang tergeletak di lantai sebenarnya bisa dibaca sebagai sebuah ‘pesan sandi’ untuk dipecahkan.
Dari satu sisi upaya penegakan hukum pasti akan membutuhkan fakta-fakta hukum sebagai alat bukti yang bisa disampaikan di persidangan. Itulah sebabnya ada disiplin ilmu yang disebut dengan Scientific Crime Investigation atau investigasi kejahatan secara ilmiah. Namun dalam setiap operasi intelijen, pembuktian tersebut menjadi sangat sulit karena kematangan perencanaan yang dibuat. Termasuk kemungkinan adanya ‘brainwashing’ bagi pelaku lapangan, juga sistem sel terputus yang dijalankan sehingga operator lapangan pasti juga tidak mengenal siapa yang menyuruh atau membayarnya. Meskipun sebenarnya bisa dilacak dari aliran dana (finacial tracing) sesuai pengakuan orang yang tertangkap.
Empat orang terdakwa dalam serangan tersebut, yaitu Dalerdzhon Mirzoyev, Saidakrami Muodali Rachabalizoda, Shamsidin Fariduni, dan Muhammadsobir Fayzov sudah tertangkap selang beberapa jam setelah peristiwa serangan dan pembakaran tempat konser. Kemudian 7 orang berikutnya juga sudah ditangkap yang diduga turut terlibat atau terkait dengan peristiwa tersebut. Jumlah ini mungkin saja akan terus bertambah sejalan dengan upaya pengembangan penyelidikan dan interogasi yang dilakukan. Siapapun ‘dalang’ dari peristiwa ini pasti akan gelisah karena khawatir identitasnya terungkap, sehingga pasti akan ada upaya-upaya untuk melenyapkannya sebagai satu-satunya jalan menghilangkan jejak. Oleh karena itu, pengamanan terhadap para terdakwa dan tersangka harus ekstra ketat guna menghindari kemungkinan terjadinya upaya pembunuhan.
Dalam kasus seperti ini, sebenarnya polisi atau pasukan Rusia bisa melakukan dua strategi pendekatan. Pertama, interogasi masif dengan upaya-upaya penekanan mental (mental stressing) agar mereka mau memberikan informasi penting atas peristiwa tersebut. Kedua dengan pendekatan lunak (soft approaching), mulai dari Document Analysis, Interface Analysis, In depth Interviews, Specific Observation, atau Prototyping. Pendekatannya bisa menggunakan fungsional dan non fungsional, baik yang bersifat kolaboratif, riset khusus, maupun eksperimen berlanjut.
Hal menarik setelah peristiwa ini terjadi, sebenarnya sudah masuk tahap dua yaitu penggiringan opini publik terhadap siapa yang harus bertanggung jawab. Teknik ini dilakukan sebagai upaya untuk menjauhkan prasangka dan kecurigaan dunia, teknik cuci piring alias lepas tangan, mata rantai terputus, dan titik akhir bayangan peristiwa. Metode ini lazim digunakan dalam berbagai peristiwa teror dunia yang melibatkan aktor negara atau ‘orang penting’.
Tiga orang terdakwa yang telah ditangkap dan digiring dengan mata tertutup dan satu orang menggunakan kursi roda ke pengadilan Moskow, bukan semata-mata peristiwa biasa tetapi ada ‘pesan’ yang ingin disampaikan bahwa Moscow akan bertindak tegas terhadap siapapun pelaku yang berusaha menyerangnya dan akan ada konsekuensi tegas pula terhadap aktor negara manapun yang menjadi dalang atau setidaknya turut serta dalam rencana serangan. Jika aktor lapangan bisa ditangkap dalam satuan JAM, maka tidak lama lagi dalangnya akan diketahui dalam satuan HARI. Dan ini akan berimplikasi pada keseriusan situasi keamanan dunia.
Sejauh ini memang tuduhan sementara diarahkan ke ISIS-K sebagai Negara Islam di Khorasan, atau IS-K sesuai dengan rekaman grafis yang mereka rilis. Persoalannya adalah tidak ditemukan relasi kausalitas serangan tersebut dengan Rusia vs ISIS. Apalagi klaim yang mengatakan bahwa ‘Rusia dinilai sering menyakiti negara Islam’ merupakan pernyataan negasi yang tidak masuk akal, karena Rusia dengan umat Islam tidak memiliki persoalan, bahkan Rusia cukup tegas dalam melakukan dukungan kemerdekaan Palestina. Dilain sisi jika kita buka sumber-sumber terbuka seperti google, youtube, dan yang lainnya, termasuk keterangan mantan staf National Security Agency (NSA) atau Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat, Edward Snowden yang menyatakan bahwa ada 3 negara yang bertanggungjawab terkait ISIS.
Di sisi lain, 4 orang pelaku serangan tertangkap di wilayah Bryansk dan siap melintasi perbatasan Ukraina saat mereka ditangkap, sehingga diduga bahwa Ukraina ikut ‘bermain’, meskipun Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky sudah membantah klaim tersebut. Tentu ada beberapa data dan informasi lain yang tidak bisa diungkapkan secara vulgar di media, tetapi menjadi sangat penting untuk memberikan sedikit pencerahan kepada masyarakat agar tidak menjadi objek garapan penyesatan (disepsi) informasi di tengah derasnya gelombang informasi saat ini. Termasuk perihal adanya peringatan dini dari Dewan Keamanan Nasional AS kepada Rusia tentang potensi serangan terhadap "pertemuan besar", termasuk konser di Moskow pada awal bulan ini. Tepat esok harinya, Gedung Putih juga turut mengutuk serangan "keji" tersebut.
Perlu diketahui bahwa Negara Islam Provinsi Khorasan atau disebut IS-K kadang juga ISIS-K adalah afiliasi resmi dari gerakan ISIS yang beroperasi di Afghanistan. Didirikan oleh mantan anggota Taliban Pakistan, Taliban Afghanistan dan Gerakan Islam Uzbekistan, dan mulai mengkonsolidasikan wilayah di distrik selatan provinsi Nangarhar, yang terletak di perbatasan timur laut Afghanistan dengan Pakistan dan merupakan bekas benteng al-Qaida di wilayah Tora Bora. Pelopornya bernama Hafiz Saeed Khan seorang komandan veteran Tehrik-e Taliban Pakistan (TTP), dan membawa serta anggota TTP terkemuka lainnya, termasuk juru bicara kelompok tersebut Sheikh Maqbool.
Sementara itu Kepala Dinas Keamanan Federal Rusia (FSB) Alexander Bortnikov dalam sebuah wawancara dengan jurnalis Pavel Zarubin mengklaim bahwa Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Ukraina berada di balik serangan Moskow dengan tujuan untuk mengganggu stabilitas Rusia. Dalam konteks ini tentu akan cukup sulit untuk menarik benang merah formil sebagai alat pembuktian adanya relasi peristiwa antara ISIS-K dengan negara-negara barat yang dituduhkan tersebut. Inilah tantangan agen-agen Intelijen Rusia agar mampu membuktikannya sehingga kebenaran akan terungkap, dan pembantaian umat manusia tidak terjadi lagi.
"Hal yang tidak kalah menariknya adalah relasi antara ISIS dan Taliban yang tidak pernah akur dan menjadi musuh bebuyutan. ISIS dan Taliban memiliki prinsip, misi dan visi, yang jauh berbeda mulai dari hal-hal kecil soal penafsiran agama hingga strategi kelompok. Kedua kelompok itu sama-sama mengklaim sebagai kelompok yang merepresentasikan jihad Islam. Jadi Dinas Keamanan Taliban sejauh ini telah berusaha untuk mencegah berkembangnya kelompok ini. Sisa pertanyaannya adalah apakah mereka beraksi atas inisiatif sendiri? Ataukan ada yang mengkondisikan dengan segala atribut dukungannya? Semoga perputaran waktu bisa mengungkap semuanya secara benar l," pungkas Dede.
(*)