Harian.co — Pilkada pada dasarnya merupakan kontestasi politik di tingkat daerah, baik tingkat propinsi, kabupaten atau kota. Setiap kandidat kepala daerah pasti ingin menang, dan tidak ada yang mendesain keikutsertaan untuk kalah. Sepanjang langkah dan strategi yang diambing oleh masing-masing kandidat dengan tim sukses dan para pendukungnya masih dalam koridor aturan main, maka potensi kerawanan akan kecil. Namun sebaliknya, jika kontestasi diterjemahkan sebagai ajang pertarungan martabat dan harga diri maka akan melahirkan kontestasi yang kurang sehat. Apalagi diterjemahkan dengan praktek politik uang yang selama ini dianggap telah ‘membudaya’, maka potensi kekisruhan maupun potensi kerusuhan akan selalu muncul.
Normatifnya semua kandidat kepala daerah mengedepankan semangat kontestasi yang sehat, dan memberikan pengertian yang jernih terhadap tim sukses dan para pendukung lainnya untuk mulai memainkan peran demokrasi yang dewasa, yaitu saling menghargai perbedaan dan kontestasi dipandang sebagai bagian dari perjalanan politik yang edukatif dan penuh warna ketauladanan. Namun fakta di lapangan bisa lain, karena proses pendewasaan politik nampaknya masih butuh waktu yang panjang.
Jargon “siap kalah dan siap menang” tampaknya masih berada dalam tataran impian, sebab faktanya kebanyakan “SIAP MENANG” tetapi “BELUM SIAP KALAH”. Meskipun tentu tidak semuanya, karena di beberapa wilayah sudah bisa menunjukan kedewasaan politik yang baik. Deklarasi-deklarasi damai tampaknya masih diperlukan sebagai pengingat bahwa kontestasi politik harus diwarnai oleh kompetisi sehat tanpa kampanye hitam ataupun saling menjelekkan yang bisa ditafsirkan salah oleh akar rumput.
Beberapa elemen kunci yang mencirikan situasi politik daerah saat ini tampaknya mulai hangat, melibatkan peran aktif dari calon kepala daerah, dinamika partai politik, peran media sosial dan teknologi, kampanye elektoral, opini publik, partisipasi pemilih, keamanan dan integritas pemilu, kedewasaan para relawan dan pendukung lainnya, serta pemantauan jajak pendapat (survei) dan berbagai proyeksnya.
Jika dilakukan komparasi potensi kerawanan saat pilpres dan pileg dengan pilkada, tampaknya pilkada memiliki potensi kerawanan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh persaingan yang intens antar calon kepala daerah yang dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia. Disamping itu, juga dipengaruhi oleh militansi pendukung yang umumnya lebih kuat karena ada hubungan kekerabatan, pertemanan, atau fanatisme golongan yang berlebihan. Oleh karena itu, sinergitas antara penyelenggara pemilu dengan TNI-Polri sangat penting sekali guna melahirkan proses politik yang berkualitas dan berintegritas.
Masa kampanye Pilkada merupakan periode yang memiliki kerawanan tinggi berdasarkan data Indeks Kerawanan Pemilu (IKP), terutama dalam konteks sosial politik dan penyelenggaraannya di setiap tahapan. Dua bentuk kerawanan Pilkada serentak 2024 adalah probabilitas terjadinya konflik fisik dan dugaan politik uang, sehingga perlunya antisipasi segala bentuk kecurangan Pilkada di setiap tahapan. Adapun khusus pada konteks keamanan wilayah, penting agar KPUD dan Bawasluda beserta jajarannya di setiap daerah untuk meningkatkan komunikasi dan koordinasi intensif dengan TNI dan Polri dalam upaya melakukan koordinasi mitigasi guna mencegah kemungkinan terjadinya konflik fisik.
Berkaca dari pemetaan yang sudah dilakukan oleh masing-masing instansi ditambah dengan pengalaman Pemilu 2024, penting dipastikan bahwa penanganan jika terjadi konflik harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagi pihak penyelenggara dituntut komitmennya untuk menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai regulasi, termasuk memastikan bahwa semua partai dan peserta pasangan calon yang ada mematuhi aturan main.
Sejumlah calon kepala daerah denganberbagai latar belakangnya mulai ambil bagian dalam persaingan untuk memenangkan kepercayaan dan dukungan pemilih. Dinamika internal partai politik juga menjadi sorotan, termasuk perubahan kebijakan dan strategi yang diadopsi untuk meningkatkan popularitas dan mendapatkan dukungan pemilih. Selain itu peran media sosial dan teknologi dalam kampanye politik semakin signifikan. Pengaruh media sosial dalam membentuk opini publik dan memengaruhi sikap pemilih menjadi perhatian utama. Para pendukung calon, berlomba untuk memanfaatkan platform ini sebagai sarana untuk menyebarkan pesan kampanye mereka dan membangun citra positif.
Kampanye elektoral menjadi episentrum dinamika politik jelang pilkada. Beberapa ruas jalan dan lokasi yang dinilai cukup strategis mulai ramai dihiasi aneka poster, spanduk dan media advertising lainnya. Saking sembrawutnya aneka papan reklame tersebut, sebagian masyarakat menyebutnya dengan istilah Polusi Visual, karena pemandangan yang tadinya indah dan bersih mulai terganggu oleh aneka atribut perkenalan dengan aneka jargon yang bertujuan mengenalkan diri dan sekaligus membangun slogan politik agar menjadi daya tarik. Strategi pengiklanan diri yang diterapkan oleh calon-calon mencakup berbagai pendekatan, mulai dari pertemuan langsung dengan calon pemilih hingga kampanye digital yang inovatif. Evaluasi terhadap efektivitas kampanye dan komunikasi politik menjadi aspek penting dalam memahami dinamika politik saat ini.
Perubahan sikap dan kecenderungan pemilih menciptakan dinamika opini publik yang berubah-ubah. Faktor-faktor seperti perkembangan isu-isu kunci, respons calon-calon terhadap isu-isu tersebut, serta interaksi sosial dan media massa, semuanya turut memengaruhi persepsi publik. Partisipasi pemilih juga menjadi sorotan penting, karena menjadi tolok ukur kesehatan demokrasi. Upaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih melibatkan berbagai inisiatif, termasuk pendekatan edukatif, kampanye kesadaran, dan fasilitasi akses pemilih ke tempat pemungutan suara.
Keamanan lingkungan dan integritas penyelenggara juga menjadi bagian integral dalam dinamika politik jelang pilkada. Antisipasi terhadap potensi tantangan keamanan selama pemilihan dan langkah-langkah untuk memastikan integritas proses pemilihan menjadi perhatian utama pihak terkait. Secara keseluruhan, dinamika politik jelang Pilkada 2024 mencerminkan keseimbangan antara aspirasi masyarakat, strategi politik calon-calon, serta kompleksitas faktor internal dan eksternal yang memengaruhi perjalanan politik di sebuah daerah. Dinamika ini menjadi refleksi dari dinamika demokrasi dan perubahan politik yang tidak pernah berhenti berkembang.
Keberhasilan dalam mengartikulasikan visi dan program yang relevan dengan isu-isu krusial yang dihadapi oleh masyarakat daerah akan menjadi faktor kunci. Kemampuan calon untuk menjalin koneksi emosional dengan pemilih dan membangun citra positif juga akan memainkan peran penting. Selain itu, strategi kampanye yang efektif, respons terhadap dinamika opini publik, dan kehadiran aktif di berbagai platform, termasuk media sosial, akan memengaruhi cara pemilih merespons dan memilih.
Gelaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota sedang berproses. Waktu yang serentak tampaknya akan melahirkan ramainya laporan pelanggaran di banyak daerah. Hal ini juga otomatis akan menuntut penyelesaian sengkata yang cepat dan serentak. Di beberapa daerah, konflik emosional berbasis SARA juga dapat terjadi jika politik identitas dimanfaatkan eskalasi faktor-faktor pemicunya oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Jika tidak diantisipasi secara dini dapat berdampak negatif dalam bentuk perpecahan secara sosial kemasyarakatan, apalagi kalau sampai dimanfaatkan oleh pihak ketiga.
Papua termasuk daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi karena kelompok separatis bersenjata (KSB) diprediksi akan berupaya untuk menggagalkan Pilkada guna mendelegitimasi NKRI, serta mencari perhatian dunia internasional. Aksi mereka diperkirakan akan terpusat di Kabupaten Maybrat, Kabupaten Puncak, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Nduga, Kabupaten Yahukimo, dan Kabupaten Pegunungan Bintang.
Oleh : Dede Farhan Aulawi