JAKARTA (Harian.co) — "Saat ini tahapan pilkada serentak tahun 2024 sedang berjalan. Pilkada sejatinya sebuah proses untuk memilih calon pemimpin terbaik di suatu daerah agar tata kelola pemerintahan berbasis legitimasi politik yang mengakar. Hanya saja pendekatan teoritis tersebut seringkali dikotori oleh perilaku pragmatis yang mengedepankan praktek kotor berupa politik uang (suap, serangan fajar) dan lainnya," ujar Pemerhati Politik Bersih Dede Farhan Aulawi di Jakarta, (23/07/2024).

Di lain sisi terkadang sebagian masyarakat juga terjebak realitas dan kebiasaan untuk menerima berbagai bentuk suap jelang pemilu/ pilkada, sehingga rasionalitas tidak digunakan kecuali soal 'berani Piro?" untuk setiap suara. Padahal landasan berfikir dalam menjatuhkan pilihan bagi calon pemimpin seharusnya didasarkan atas fakta logik dalam mengenal setiap kandidat, karena semua akan dimintai pertanggungjawabannya sampai di akhirat kelak.

Pada kesempatan ini, Dede juga mengingatkan maraknya praktek politik uang yang dinilai sudah 'membudaya' sebagai ciri Politik Sakit dan Kotor. Suap atau uang sogok merupakan suatu perbuatan dosa besar,  sebab dalam hadist disebutkan bahwa Allah akan melaknat orang yang melakukan suap dan yang menerima suap. 

Ù„َعَÙ†َ رَسُÙˆْÙ„ُ اللَّÙ‡ِ- صلى الله عليه وسلم - الرَّاشِÙŠَ ÙˆَالْÙ…ُرْتَØ´ِÙŠَ 

Artinya: “Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR. Abu Daud no. 3580, Tirmidzi no. 1337, Ibnu Majah no. 2313. Kata syaikh Al Albani hadis ini shahih). 

Kemudian dalam Riwayat lain dijelaskan bahwa Nabi SAW melaknat al Ra-sy (الرَّائشَ) yaitu penghubung antara penyuap dan yang disuap (HR. Ahmad 5/279). 

Meskipun hadist di atas ini sifatnya lemah, tetapi makna hadis ini adalah benar bahwa orang yang menjadi penghubung dalam suap menyuap itu telah membantu orang lain melakukan perbuatan dosa.

Perilaku melakukan politik uang, sama halnya dengan perbuatan yang menunjukkan bahwa seorang calon pemimpin itu ingin memiliki kedudukan. Jika dimulai dengan cara yang kotor, maka bisa dipastikan jika ia terpilih ia takkan mampu mengelola pemerintahan yang bersih.

"Semua masyarakat cerdas dan sehat wajib memilih pemimpin berdasarkan kriteria yang benar, bukan karena ia ngasih uang atau suap. Mari semua masyarakat berpartisipasi guna mewujudkan praktek politik yang bersih, dengan tidak memilih calon pemimpin yang merendahkan harkat dan martabat calon pemilihnya dengan cara dikasih SUAP," pungkas Dede.

(*)