Harian.co — Platform ideologi semua partai politik di Indonesia sudah sama, yakni berazaskan Pancasila. Dengan demikian, setiap warga negara Indonesia bisa turut berpartisipasi dalam kancah politik di tanah air dengan memasuki salah satu partai politik yang ada. Partai politik merupakan kawah candra dimuka-nya para calon pimpinan politik, dimana mereka akan ditempa agar memiliki ketangguhan dalam memainkan peran politiknya di lapangan. Meskipun tentu ada juga orang yang tidak memilih area pertarungan politik dengan berbagai pertimbangan masing – masing.
Peran partai politik tentu sangat penting sekali, karena lewat partai politiklah para calon legislatif, kepala negara, gubernur sampai bupati / walikota bisa diproses. Tanpa kendaraan politik tentunya sangat susah bagi orang pada umumnya untuk ikut bertarung guna memenangkan kompetisi. Persoalannya adalah bagaimana model pembinaan dan kaderisasi dalam suatu partai guna melahirkan para kader yang cerdas dan berintegritas. Melahirkan para kader yang cerdas tentu baik sekali, tetapi itu saja tidak cukup. Ada satu lagi yang harus direncanakan dengan sangat apik dan baik sekali, yaitu Desain Perencanaan guna melahirkan kader yang berintegritas.
Jargon ‘INTEGRITAS’ saat ini menjadi kata suci dan sakral yang dimimpikan oleh segenap anak bangsa. Banyaknya universitas dan Lembaga Pendidikan lainnya sementara ini banyak melahirkan orang – orang yang cerdas secara intelektual, tetapi belum mampu mencetak para alumni yang berintegritas secara karakter. Hal ini tentu menjadi PR Bersama, termasuk PR partai politik guna mencetak para kader yang cerdas dan berintegritas. Nyari orang yang pinter memang tidak mudah, tetapi mencari orang yang berintegritas akan jauh lebih tidak mudah lagi.
Disinilah semua pemerhati dan pakar Pendidikan perlu duduk Bersama, merumuskan sebuah model desain perencanaan yang mampu mencetak orang – orang yang berintegritas. Inilah KRISIS FUNDAMENTAL yang nyata di depan mata yaitu sulitnya mencetak dan menemukan orang – orang yang memiliki integritas yang tinggi. Inilah syarat utama yang harus dimiliki oleh para calon pejabat di Indonesia, yaitu orang yang berintegritas dimana ada kesatuan antara hati, fikiran, ucapan dan tindakan. Jangan sampai ucapannya bagus, doktrinnya bagus, tetapi pelaksanaannya justeru dia sendiri yang merusak makna dan hakikat dari sucinya sebuah INTEGRITAS. Apalagi jika dikaitkan dengan harapan luhur, yaitu terciptanya penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Tiga idiom yang mengobarkan semangat reformasi dan menyebabkan jatuhnya pemerintahan orde baru.
Jika kita mau mengukur keberhasilan suatu proses politik yang telah terjadi, tentu ada banyak model dan cara dalam melakukannya. Salah satu parameter yang dapat digunakan adalah dengan cara melakukan komparasi terhadap perilaku KORUPSI, KOLUSI dan NEPOTISME di masa orde baru dengan saat ini. Bagaimana korupsinya, bagaimana kolusinya, dan bagaimana nepotismenya. Inilah yang perlu menjadi bahan perenungan bagi seluruh Desainer Politik untuk menemukan dan mengoreksi peta jalan politik yang sudah dan yang akan dilalui. Jika terjadi deviasi dari cita – cita politik sebelumnya tentu harus segera dikoreksi, jangan sampai membiarkan penyimpangan politik yang terlalu jauh karena pasti akan sulit untuk mengoreksinya dan membutuhkan pengorbanan yang sangat mahal.
Disinilah penguatan integritas para pimpinan dan kader partai politik sangat penting dan urgen sekali. Apalagi jika merujuk pada data statistik sampai bulan Juni 2024, dimana penindakan KPK menunjukkan bahwa dari 1.607 pelaku tindak pidana korupsi yang ditangani KPK, lebih dari 34% berasal dari Partai Politik. Modusnya di antaranya paling banyak adalah penyuapan, gratifikasi, pengadaan barang dan jasa, hingga terkait penyalahgunaan anggaran. 34% tentu bukan jumlah yang sedikit, apalagi jika melihat nominalnya.
Memang bukan rahasia lagi bahwa biaya politik dari setiap proses politik tidaklah murah. Investasi politik sesungguhnya merupakan investasi pengabdian, bukan investasi ekonomi yang harus ditakar untung dan ruginya. Tidak bisa menghitung kelayakan investasi politik dengan feasibility study yang menggunakan BEP, NPV, IRR, dan sebagainya. Karena kalau metode ini yang dipakai, maka percayalah angkanya tidak akan ketemu sampai kapanpun. Silahkan saja dihitung berapa nilai investasi sejak pencalonan sampai jadi, lalu dibandingkan dengan perolehan penghasilan selama menjabat dalam 5 tahun. Apakah angkanya ketemu ? Apalagi jika harus menyiapkan amunisi untuk pertarungan 5 tahun berikutnya ? Dari mana sumber dananya ?
Jika tidak memiliki INTEGRITAS, rasionalitas dan moralitas akan bertarung sengit dalam proses pengambilan keputusan. Termasuk masyarakat pun perlu diedukasi agar semua keputusan politik jangan berbasis pada uang atau penyuapan bernama serangan fajar, serangan siang, makan sore atau makan malam, bahkan kamuflase berupa bantuan hibah, sumbangan social, dan sebagainya. Jangan sampai masyarakat digoda atau dipaksa untuk ikut menikmati uang ‘YANG TIDAK JELAS STATUSNYA’ dan menjadi bagian yang mendorong tumbuh kembangnya perilaku koruptif, kolusif, dan nepotis.
Mari berpartisipasi guna membangun politik cerdas dan berintegritas. Jangan pernah gadaikan, martabat dan harga diri sebagai barang jualan yang bisa diobral. Percayalah, apapun predikat dan jabatan kita, saat kita bisa ‘DIBELI’ maka hakikatnya sudah meletakan martabat di titik terendah, dan sejak itu akan menjadi bahan gunjingan, cemoohan, dan bahkan akan dinilai sebagai warga dari kasta yang sangat hina.
Oleh: Dede Farhan Aulawi (Desainer Integritas Bangsa)