BANDUNG (Harian.co) — Pada awalnya terminologi personal branding banyak digunakan oleh selebriti dunia untuk membentuk image / kesan pribadinya agar bisa diterima publik secara luas dan merupakan ciri khas yang bersangkutan. Namun dalam perkembangannya, praktik personal branding juga digunakan dalam konteks politik sebagai salah satu strategi untuk pemenangan.

Apalagi dalam sistem demokrasi langsung, popularitas kandidat politik menjadi krusial dan dapat mempengaruhi kemenangan.

"Idealnya kontestasi politik sebagai instrumen agar rakyat bisa memilih calon pemimpin terbaiknya, oleh karenanya kapasitas intelektual dan integritas menjadi aspek penting yang harus dipertimbangkan sebelum memilih. Namun dalam prakteknya, jumlah pemilih irasional masih terlalu banyak sehingga praktek dan tujuan ideal dalam kontestasi politik masih agak sulit untuk diwujudkan," ujar Konsultan Politik Dede Farhan Aulawi di Bandung, Jum’at (06/09/2024).

Hal tersebut ia sampaikan dalam diskusi ringan dengan rekan-rekannya para politisi muda kota Bandung. Menurutnya, kajian branding pada awalnya diterapkan pada perusahaan, barang atau jasa namun berkembang pada tokoh atau persona seiring berubahnya mazhab pollitik. Personal branding dalam konteks politik mencakup tiga elemen yaitu partai, kepemimpinan dan kebijakan. Ketiga elemen ini yang menjadi dasar adanya perbedaan tipe personal branding dalam politik dan pendekatan pemasaran politik.

"Personal brand dalam konteks parlementer juga membutuhkan karakter otentik dan identitas pembeda berdasarkan dimensi berwujud (tangible) dan dimensi tidak berwujud (intangible). Dimensi berwujud dapat diamati berdasarkan tampilan fisik, gaya, serta komunikasi dan tindakan pada media daring maupun luring. Sedangkan dimensi tidak berwujud dapat diidentifikasi berdasarkan pengalaman hidup, keterampilan, nilai dan karakteristik personal," tambahnya.

Selanjutnya Dede juga menjelaskan bahwa personal branding mengadopsi konsep dan premis utama seperti corporate atau product brand. Personal branding merupakan nilai yang menjanjikan. Sama seperti proses branding lainnya, personal branding membedakan seseorang dengan orang lain seperti dari orang-orang yang berada dalam satu kelompok, kolega bahkan kompetitor. Dengan demikian, personal branding berusaha membangun keunikan seseorang dengan mengkombinasikan atribut-atribut tertentu.

Atribut dalam pembentukan personal branding dapat terbagi dua yaitu atribut rasional dan atribut emosional. Atribut rasional merupakan hal-hal yang dilekatkan pada seseorang terkait profesionalitas, visi dan tujuan yang dimiliki. Sedangkan atribut emosional merupakan hal-hal yang dilekatkan pada seseorang terkait kepribadian atau aspek emosional lainnya. Atribut ini dapat terkait dengan artefak yang melekat pada seseorang seperti pakaian yang digunakan. Pakaian menunjukkan nilai dan kepribadian seseorang yang dapat memberikan impresi kepada orang lain. Impresi terhadap pakaian seseorang dapat dikaitkan dengan emosional seperti kesederhanaan.

Kemudian Dede juga menambahkan bahwa personal branding pada orang-orang yang melakukan aktivitas politik perlu menyadari peran sebagai komunikator yang bertugas menyampaikan pesan. Peran sebagai komunikator memiliki elemen penting yang harus dipenuhi, yaitu kredibilitas dan daya tarik. Kredibilitas merupakan persepsi orang lain tentang diri komunikator. Dalam kredibilitas ada terdapat komponen-komponen utama, yaitu kemampuan komunikator dalam hubungannya dengan topik yang dibicarakan.

"Seorang komunikator dituntut untuk memiliki daya tarik, baik secara fisik maupun psikologis. Daya tarik fisik dari seorang komunikator juga turut berperan pada proses persuasi, demikian juga daya tarik psikologis. Seorang komunikator yang mempunyai daya tarik fisik secara sosial lebih mendapat perhatian, lebih dihargai dan diterima. Bahkan dalam setiap awal interaksi yang dilakukan sering kali mendapat feedback yang positif. Daya tarik fisik memang tidak sepenuhnya menjamin komunikan akan menerima pesan yang disampaikan komunikator sehingga diperlukan juga daya tarik psikologis dari seorang komunikator," pungkasnya.

(*)