BANDUNG (Harian.co) — Dalam setiap perisitiwa dimanapun yang kita ketahui, baik yang terjadi pada diri sendiri ataupun terjadi pada orang lain pada dasarnya ada sebuah hikmah dan pelajaran yang harus kita petik. Lakukan analisis yang benar untuk mengetahui akar masalah sesungguhnya, apa dampaknya, dan bagaimana strategi untuk memperbaiki kondisi dan mengantisipasi jika hal tersebut terjadi.
"Hal ini yang seringkali terlupakan, sehingga kita lalai dalam mempelajarinya sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ada yang bersifat strategis, operasional dan taktis, serta bisa dilihat dari berbagai perspektif seperti perspektif pertahanan. Contohnya, masih tingginya ketergantungan Indonesia terhadap beberapa komoditi strategis, misalnya pemenuhan kebutuhan beras dan susu impor," ujar Pemerhati Hankam Dede Farhan Aulawi di Bandung, Rabu (04/09/2024).
Hal tersebut ia sampaikan dalam obrolan santai dengan beberapa koleganya terkait dengan kondisi peperangan di beberapa kawasan yang belum memperlihatkan ada tanda-tanda akan selesai. Malah yang terjadi sebaiknya, yaitu ada potensi perluasan konflik yang melibatkan banyak negara atas dasar kepentingan, solidaritas, atau perspektif lainnya.
Pada kesempatan ini, Dede mencontohkan perihal pelajaran yang bisa dipetik dalam konflik perang Rusia vs Ukraina yang berdampak sangat signifikan pada perekonomian Jerman. Meskipun Jerman sebenarnya tidak secara langsung berkonflik, tetapi karena Jerman menjadi salah satu anggota Uni Eropa, maka walau bagaimanapun Jerman harus mengikuti kebijakan Uni Eropa untuk melakukan embargo ekonomi terhadap Rusia.
Akibatnya Jerman ikut mengalami kerugian terkait kebijakan sanksi yang dijalankannya sehingga terjadi dilema antara mengikuti kebijakan Uni Eropa atau terus bekerjasama dengan Rusia untuk menjaga stabilitas pasokan gas alam dan industrinya. Hal ini terjadi karena Jerman merupakan salah satu negara pengimpor gas alam terbesar dari Rusia untuk keperluan keperluan industri dan yang lainnya.
"Perbedaan sumber daya alam yang dimiliki oleh setiap negara menjadikan kerjasama antar negara sebagai solusi untuk saling mengisi sesuai kebutuhan strategis masing-masing negara. Jerman mendapatkan supplai yang cukup terkait kebutuhan gas alamnya dari Rusia, sementara Rusia juga merasa diuntungkan dengan adanya sumber pendapatan negara dari hasil penjualan gas alamnya ke Jerman. Sepanjang kondisinya baik tentu saling menguntungkan kedua belah pihak, namun ketika terjadi gangguan hubungan politik maka akan mengganggu kepentingan keduanya," tambah Dede.
Selanjutnya Dede juga menjelaskan bahwa dari peristiwa tersebut seyogyanya Indonesia bisa memetik hikmah dan segera membuat langkah-langkan terobosan yang strategis. Indonesia saat ini masih memiliki ketergantungan terhadap beberapa komoditi impor, misalnya saja keperluan pemenuhan beras dan produk susu. Tentu bukan hanya itu karena masih banyak komoditi impor lainnya.
Hal ini disebabkan karena Indonesia belum bisa mencapai kembali swasembada pangan atau yang dikenal dengan istilah kedaulatan pangan. Di sisi lain juga harga produk impor juga dinilai jauh lebih murah dibandingkan produk serupa yang dihasilkan di dalam negeri. Di sisi lain lahan pertanian non produktif juga masih sangat luas, sehingga produktivitas setiap sentimeter lahan masih sangat rendah.
Belum lagi masalah penunjang lainnya seperti kelangkaan pupuk, irigasi / pengairan yang belum merata terutama di musim kemarau, buruh tani yang semakin berkurang karena beralih profesi menjadi pekerja pabrik, kesejahteraan petani yang relatif masih rendah, dan sebagainya. Oleh karena itu, penghijauan dan upaya menjaga sumber mata air harus mendapat atensi penuh agar sumber-sumber mata air warga tidak beralih kepemilikan menjadi milik korporat yang banyak dieksploitasi sebagai tambang ekonomi.
Fakta-fakta tersebut berdampak pada tingginya ketergantungan pangan terhadap import. Ketergantungan impor merupakan salah satu indikator pengukuran tingkat kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Salah satu ukuran tingkat kemandirian pangan nasional adalah dengan mengukur seberapa besar tingkat ketergantungan ketersediaan pangan terhadap impor (dan atau net-impor) dalam neraca pangan. Termasuk juga impor barang elektronik seperti smartphone, televisi, laptop, AC, mesin cuci, dan lain-lain. Negara-negara seperti China, Korea Selatan, dan Jepang menjadi negara utama penyuplai barang elektronik ke Indonesia.
"Begitupun dengan ketergantungan terhadap produk susu impor dengan rata-rata sebesar 40,42 persen kebutuhan susu Indonesia. Produksi susu sapi dari peternak domestik tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Impor susu Indonesia sebagian besar adalah produk susu untuk bahan baku industri pengolahan susu dalam negeri. Impor produk susu sebaiknya dilakukan secara terdistribusi secara geografis agar tidak tergantung pada satu negara asal impor. Di samping itu juga agar produk susu menjadi lebih kompetitif secara harga dan kualitas, serta dalam jumlah yang stabil dan mencukupi. Secara empiris, semakin terkonsentrasi impor secara geografis, maka semakin besar ketergantungan impor. Apalagi jika ditinjau dari asper pertahanan dan keamanan, maka semakin tinggi ketergantungan suatu negara terhadap produk impor, maka negara tersebut akan semakin rentang dari kemandirian sikap dalam mempertahankan kepentingan nasionalnya," pungkas Dede.
(*)