BANDUNG (Harian.co) — Jika mendengar atau menonton sebuah pemberitaan yang terkait dengan terjadinya sebuah peristiwa pidana atau kejahatan, masyarakat mungkin sering mendengar / membaca suatu istilah locus delicti dan tempus delicti. Pengertian tersebut bagi orang yang pernah / sedang kuliah di jurusan hukum pasti sudah tidak aneh, tetapi bagi masyarakat awam seringkali menimbulkan kebingungan maksudnya.

"Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk memahami istilah tersebut agar tidak gagal paham dalam memahami sebuah pemberitaan kejahatan," ujar Pemerhati Hukum Dede Farhan Aulawi di Bandung, Rabu (23/10/2024).

Hal tersebut ia sampaikan dalam obrolan santai dengan para koleganya untuk menambah wawasan keilmuan, khususnya yang terkait dengan masalah-masalah hukum yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Sebagai mahluk sosial manusia selalu berinteraksi satu sama lain sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Idealnya setiap interaksi tersebut berjalan normal tanpa ada gesekan sehingga menjadi suatu masalah.

Namun dalam realitanya seringkali timbul masalah sehingga dipandang perlu adanya suatu acuan (aturan) untuk bertindak dan acuan ini diciptakan atas dasar keadilan. Adil melekat secara objektif dan kebijaksanaan melekat secara subjektif. Asas hukum layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja dan akan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya.

Pada kesempatan ini, dia juga mengatakan bahwa salah satu tujuan peradilan itu sendiri adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

"Dalam penanganan suatu tindak pidana, dikenal istilah locus delicti dan tempus delicti. Keduanya memiliki makna yang berbeda dan berperan sangat penting dalam penanganan tindak pidana. Pengertian locus delicti dan tempus delicti Secara harfiah, locus delicti berasal dari kata locus yang artinya lokasi atau tempat dan delicti yang berarti delik atau tindak pidana. Dengan begitu, pengertian locus delicti adalah tempat dilakukannya tindak pidana. Sementara itu, tempus delicti berasal dari kata tempus yang artinya tempo atau waktu dan delicti yang berarti delik atau tindak pidana. Jadi, pengertian tempus delicti adalah waktu terjadinya suatu tindak pidana. Pada setiap tindak pidana, ada waktu dan tempat terjadinya. Menentukan locus delicti atau atau tempat tindak pidana menjadi hal yang penting disebabkan untuk menentukan hukum pidana negara mana yang berlaku, dan menentukan kejaksaan dan pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut (kompetensi relatif)," imbuhnya.

Ada tiga teori yang membahas mengenai locus delicti, yakni teori perbuatan materiil, teori instrumen dan teori akibat. Ketiga teori ini muncul karena menentukan locus delicti merupakan hal yang tidak mudah. Adapun menurut teori perbuatan materiil, yang harus dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana adalah tempat di mana perbuatan tersebut dilakukan.

Sementara berdasarkan teori instrumen, yang dianggap locus delicti adalah tempat di mana alat yang digunakan menimbulkan akibat tindak pidana, seperti kematian, kerugian, penderitaan, dan lain-lain.

Terakhir, menurut teori akibat, locus delicti adalah tempat di mana akibat dari pada tindak pidana tersebut muncul. Sementara itu, tempus delicti atau waktu tindak pidana penting untuk diketahui dikarenakan untuk menentukan apakah suatu undang-undang pidana dapat diberlakukan untuk mengadili tindak pidana tersebut atau tidak, menentukan terdakwa pada saat melakukan tindak pidana tersebut sudah dewasa atau belum, dan menentukan apakan tindak pidana tersebut sudah kadaluarsa atau belum.  

Selanjutnya Dede juga menjelaskan bahwa unsur locus dan tempus delicti memang sangat fundamental, karena menentukan arah dari jalannya pembuktian perkara tersebut. Misalnya dalam banyak kasus dengan menggunakan 3 pendekatan seperti alat, akibat dan perbuatan. Alat, untuk melihat yang dimana bukti-bukti berada, akibat melihat dampak yang terjadi setelah tindak pidana dilakukan dan perbuatan melihat dimana perbuatan tersebut dilakukan. Dalam perkembangan nya, keragaman jenis kejahatan juga melahirkan kejahatan mayantara yang menimbulkan peraturan baru untuk mengatur kejahatan tersebut apalagi kejahatan mayantara tersebut tidak mudah dilacak dengan begitu mudahnya dalam menentukan tempus dan locus delicti cyber crime karena penentuan tersebut mempengaruhi untuk menentukan kewenangan pengadilan yang berhak untuk mengadili. 

Kemudian Dede juga menambahkan bahwa penentuan tempus dan locus delicti dari suatu kejahatan mayantara adalah menggunakan teori-teori yang telah ada dalam hukum pidana yaitu teori perbuatan materiil, teori alat yang dipergunakan, dan teori alat. Penentuan tempus dan locus delicti berpengaruh pada penentuan saksi-saksi, daluwarsa pidana,dan menentukan sah atau tidaknya surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum. Dan pengaturan dalam menentukan Pengadilan yang berhak untuk mengadili kejahatan mayantara/cyber crime sesuai dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 84-86.

"Aparat penengak hukum dalam penentuan tempus dan locus delicti cyber crime menggunakan empat teori pidana yaitu teori perbuatan materiil, teori perbuatan akibat, dan teori perbuatan instrument, dan pengaturan kewenangan dalam mengadili kejahatan cyber crime sebagaimana diatur dalam Pasal 84,85, dan 86 KUHAP. Ini penjelasan singkatnya, semoga bermanfaat," pungkasnya.

(*)