BANDUNG (Harian.co) — Dunia pendidikan saat ini menghadapi dinamika dan tantangan tugas yang tidak mudah. Siswa / santri tidak cukup hanya mendengarkan nasihat yang baik, karena mereka otomatis akan melihat perilaku atau tauladan dari yang mengajarnya. Begitupun perkembangan IPTEK yang luar biasa akan menuntut penyesuaian kurikulum yang adaptable dengan perkembangan zaman.
"Dengan demikian maka jajaran staf pengajar pun harus mampu mengikuti perkembangan tersebut. Artinya harus tetap dan terus belajar, dan tidak cukup dari literatur lama," ungkap Pemerhati Pendidikan Dede Farhan Aulawi di Bandung, Jum'at (21/02/2025).
Hal tersebut ia sampaikan setelah dirinya menghadiri dan memenuhi undangan peringatan 1 abad (100 tahun) Pondok Pesantren Al-Majidiyah Sumedang dan sekaligus memberikan Ceramah Pendidikan untuk meningkatkan semangat belajar para santri agar lebih termotivasi menjadi insan yang cerdas, sholih/sholihah, dan bertaqwa.
Kehadiran di pondok pesantren langsung disambut ratusan santri, dan akhirnya diterima oleh sesepuh pondok KH. Sopandi, pimpinan pondok KH. Muslim Mubarok, SAg, MAg yang juga Rois Syuriah MWC NU , para ustadz, dan yang lainnya.
Lokasi pondok pesantren ini berada di sekitar kaki gunung Manglayang, tepatnya di kampung Nyalindung, desa Mekarsari, kecamatan Sukasari kabupaten Sumedang. Awal pendiriannya dirintis oleh KH. Abdul Majid bin Salhari pada tahun 1925 sebagai tajug tempat orang-orang sektar mengaji. Untuk mempertahankan pengajaran tradisional, pesantren ini mengklasifikasikan kurikulum kegiatan pengajaran kitab sesuai dengan tingkatan santri.
Pertama, tingkat Isti’dad (nadhoman fikih, Tuhfatul Athfal (tajwid), baca tulis Al-Qur’an, dan nadhoman tauhid).
Kedua, tingkat ‘Ula A (Safinah, Tijan Darori, Ahlaq lil Banin, Jurumiyah dan Al-Ada wal Qiroat).
Ketiga, tingkat ‘Ula B (Fathul Qarib, Sanusiyah, Akhlaq lil Banin, Kailani dan Al-Ada wa al-Qiraat). Keempat, tingkat Wustho A (Al-Bajuri, Kifayat al ‘Awam, Tafsir Al-Jalalain, Imrithi, Al-Ada wal-Qiraat dan Arbain Nawawiyah).
Kelima, tingkat Wustho B (Fathul Mu’in, Ummul Barahim, Tafsir Al-Jalalain, Mutammimah, Al-Ada wal Qiraat, Bulughul Marom).
Keenam, tingkat Ulya A (‘Ianah Tuttholibin, Sirajut Thalibin, Alfiyah Ibnu Malik dan Riyadussholihin). Ketujuh, tingkat Ulya B (Fathul Wahab, Sirajut Thalibin, Alfiyah ibnu Malik, Jauhar Maknun dan Bukhari-Muslim).
Sebagai wadah untuk mengembangkan sumber daya manusia didalamnya, pondok pesantren Al-Majidiyah menyediakan pilihan ekstrakulikuler yang bisa digeluti para santri, seperti tahsin dan tahfidz Qur’an, takhasus kitab salaf, seni baca Al-Qur’an, khitobah tiga bahasa, praktik ubudiyah, tata boga, menjahit, hadroh, hingga beladiri.
Sementara itu, untuk meningkatkan kenyamanan, keberadaan Al-Majidiyah telah dilengkapi oleh fasilitas guna menunjang kegiatan santri sehari-hari, seperti laboratorium komputer, Unit Kesehatan Santri (UKS), kantin, koperasi dan perpustakaan yang dimanfaatkan untuk meningkatkan budaya baca dan menulis.
Sejak 2008 Al-Majidiyah menjadi pusat pendidikan agama yang diasuh oleh KH Muslim Mubarok bin KH Sopandi. Para santri datang dari berbagai daerah, siap ditempa untuk menjadi santri yang berbudi pekerti luhur, berakhlakul karimah, yang kelak dapat mengamalkan ilmunya, agar berguna untuk agama, bangsa dan negara.
(*)