SRILANGKA (Harian.co) — Jika sebelumnya sudah membayangkan kesemrawutan dan hiruk pikuk kota seperti kota Dhaka Bangladesh, ternyata kota Colombo relatif bersih, meskipun tetap berdebu karena udaranya memang panas, bahkan lebih panas dari Jakarta. Masyarakatnya juga terhitung 'beradab' dalam berlalu lintas. Ini saya buktikan sendiri ketika hendak menyeberang jalan.

"Meksipun lampu hijau untuk pejalan kaki belum menyala, setiap kali ada orang yang berdiri di pinggir jalan dan bermaksud menyeberang di zebra cross, para pengendara mobil dan motor akan menghentikan kendaraan mereka untuk memberi kesempatan orang itu menyeberang," ujar Ketum DPP Prawita GENPPARI Dede Farhan Aulawi di Kolombo Srilanka, Kamis (13/02/2025).

Hal tersebut ia sampaikan setelah sebelumnya melaksanakan suatu tugas di Bangladesh. Setelah urusan pekerjaan selesai, kemudian persiapan kembali ke tanah air tetapi mampir dulu ke Colombo ibukota negara Srilanka untuk melakukan pertemuan dengan beberapa kolega bidang pertahanan dan keamanan. Menurutnya, penerbangan dari kota Dhaka Bangladesh ke Colombo Srilanka sekitar 3 jam 20 menit. Begitu mendarat di Bandara Internasional Bandaranaike (CMB) yang merupakan bandara internasional utama negara Sri Lanka dan terletak di pinggiran kota Negombo. 

Pada kesempatan tersebut Dede juga menjelaskan bahwa penduduk negara Srilanka terdiri atas Suku Sinhalese (berasal dari India Utara yang kini merupakan kelompok suku terbesar di Sri Lanka), Tamil India, Arab, Melayu, Vedda (penduduk asli Sri Lanka), dan sebagainya. Ada pun agama mayoritas penduduk Sri Lanka (69%) adalah Buddha Mahayana. 

"Untuk mengenal lebih jauh tentang kota Colombo, saya biasa berjalan kaki menelusuri setiap sudut kota dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Pasar tradisional merupakan salah satu tujuan favorit untuk dikunjungi agar bisa merasakan betul suasana asli negara tersebut. Pusat perbelanjaan seperti Mall memang ada, tetapi tidak menarik untuk dikunjungi karena sama saja dengan kota – kota lain di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Salah satu pasar tradisional yang dikunjungi adalah Tangalia Market, yaitu pasar basah terbesar di Colombo. Sayuran dan buah-buahan yang dijual di pasar itu ternyata tak banyak berbeda dengan yang dijual di pasar-pasar di Tanah Air," imbuhnya.

Selanjutnya ia juga menambahkan bahwa salah satu makanan khas disini adalah Lamprais yang mirip dengan nasi timbel, karena bentuknya yang dibungkus oleh daun pisang. Namun, penyajiannya mirip dengan nasi bakar, karena semua lauk pauknya digabung dalam satu bungkusan daun pisang, sebelum dipanggang. Lamprais berasal dari kata lump rice (atau bungkusan nasi) merupakan hidangan kuliner yang terinspirasi oleh Dutch Burgher (yang merupakan etnis campuran Sri Lanka, Belanda dan Portugis) dan merupakan simbolisasi asimiliasi kebudayaan dan sejarah panjang Sri Lanka dengan kekuatan kolonial di masa lampau.

Sebuah gedung tua berwarna merah dengan gaya arsitektur Moor berdiri di tengah-tengah keramaian kota. Rupanya itu adalah masjid tertua di Colombo atau biasa disebut Masjid Merah. Tak jauh dari situ berdiri dengan damai sebuah kuil Hindu yang meriah dan berwarna-warni. Gangaramaya Temple merupakan kuil Buddha terbesar di Colombo. Arsitektur kuil yang didirikan pada abad ke-19 ini unik karena merupakan campuran dari budaya Sri Lanka, Thailand, India, dan Tiongkok, dengan patung-patung Buddha kecil yang tersusun rapi. 

"Perlu diketahui juga bahwa Sri Lanka dulunya disebut Ceylon, yaitu sebuah negara pulau di Asia Selatan. Ia bertetangga dengan India di bagian tenggara, dan Maladewa (Maldives) di sebelah barat lautnya. Dikelilingi pelabuhan-pelabuhan yang membuat negeri mungil ini dahulu menjadi bagian yang strategis dari Jalur Sutra. Pada tahun 1972, Sri Lanka resmi menjadi negara merdeka setelah sebelumnya menjadi negara jajahan Inggris. Karena itu, meskipun bahasa resmi negara ini adalah Sinhalese dan Tamil. Bahasa Inggris masih cukup banyak digunakan, terutama di kalangan terpelajar," pungkasnya.

(*)